DAPATKAN! Buku Pitutur Luhur (Rp.5.000) dan CD MP3 Pitutur Luhur oleh Ustadz Parsono Agus Waluyo ( Karangpandan, Solo - Indonesia

Masalah Tafsir Al Qur'an



BAB I

Yang Menafsirkan Al Qur’an Dengan Logikanya

Hadits Tirmidzi 2874
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السِّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اْلاَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ اََبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka” Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih.

Hadits Tirmidzi 2875
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍوَ الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ اْلاَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِتَّقُوْا الْحَدِيْثَ عَنِّى إِلاَّ مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ
“Jagalah diri untuk menceritakan dariku kecuali yang kalian ketahui, barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah untuk menempati tempatnya di neraka & barangsiapa mengatakan tentang Al-Qur'an dengan pendapatnya, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka”. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan.

Hadits Tirmidzi 2876
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلاَّلٍ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ أَبِى حَزْمٍ أَخُوْ حَزْمٍ الْقُطَعِيِّ حَدَّثَنَا أَبُوْ عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ قَالَ أَبُوْ عِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ غَرِيبٌ وَقَدْ تَكَلَّمَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ فِى سُهَيْلِ بْنِ أَبِى حَزْمٍ وَهَكَذَا رُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَنَّهُمْ شَدَّدُوْا فِى هَذَا فِى أَنْ يُفَسَّرَ الْقُرْآنُ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَأَمَّا الَّذِى رُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُمْ فَسَّرُوْا الْقُرْآنَ فَلَيْسَ الظَّنُّ بِهِمْ أَنَّهُمْ قَالُوا فِى الْقُرْآنِ أَوْ فَسَّرُوْهُ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَوْ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُمْ مَا يَدُلُّ عَلَى مَا قُلْنَا أَنَّهُمْ لَمْ يَقُوْلُوْا مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مَهْدِيِّ الْبَصْرِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ مَا فِى الْقُرْآنِ آيَةٌ إِلاَّ وَقَدْ سَمِعْتُ فِيهَا شَيْئًا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ قَالَ مُجَاهِدٌ لَوْ كُنْتُ قَرَأْتُ قِرَاءَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ لَمْ أَحْتَجْ إِلَى أَنْ أَسْأَلَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ كَثِيرٍ مِنْ الْقُرْآنِ مِمَّا سَأَلْتُ
“Barangsiapa mengatakan tentang Al Qur`an dgn pendapatnya, maka dia tetap salah walaupun pendapatnya benar. Abu Isa berkata; Hadits ini gharib, sebagian ahli hadits membicarakan Suhail bin Abu Hazm, & demikianlah telah diriwayatkan dari sebagian ulama dari para sahabat Nabi & yg lainnya, bahwa mereka memperketat dalam masalah ini, yaitu tentang menafsirkan Al Qur`an tanpa Ilmu, adapun yg diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah & lainnya dari para ulama, bahwa mereka menafsirkan Al Qur`an bukan karena prasangka yg ada pada mereka, kemudian mereka mengatakan tentang Al Qur`an atau menafsirkannya tanpa dasar ilmu atau dari diri mereka, telah diriwayatkan dari mereka, mengenai dalil yg menunjukkan atas apa yg kami katakan, bahwa mereka tak mengatakan tentang Al Qur`an dari diri mereka tanpa dasar ilmu. Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Mahdi Al Bashri telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq dari Ma'mar dari Qatadah ia berkata; Tidak ada satu ayat pun dari Al Qur`an kecuali aku telah mendengar apa yg terkandung di dalamnya. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Al A'masy ia berkata; Mujahid berkata; Seandainya aku membaca dgn bacaan Ibnu Mas'ud, maka aku tak perlu lagi bertanya kepada Ibnu Abbas tentang banyak hal dari Al Qur`an, sebagaimana yg saya tanyakan”.

Ayat tentang Kesempurnaan Agama

أَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيناً

“Hari ini Aku sumpurnakan agamamu dan Kulengkapi nikmatku, dan Aku ridha kepadamu Islam sebagai agama.”

Dalam memahami potongan ayat ke-3 dari Surat Al Maidah diatas Ulama’ dari bebrbagai aliran saling berbeda pandapat Ulama’. Syiah berpendapat ayat itu ada hubungannya dengan kepemimpinan sahabat ‘Ali bin Abi Tholib r.a, sedangkan Ahlussunnah versi wahabi biasanya menghubungkan ayat di atas dengan Hadits Bid’ah, sedang kaum Ahlussunnah biasa ( NU, Habaib, Kyai, dll ) bersikap moderat terhadap beberapa pendapat .

Berikut kami kutip pemahaman kaum Syiah terhadap Surat Al Maidah ayat ke-3.
http://www.dudung.net/images/quran/5/5_3.png
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (5: 3)

Ayat ini sebenarnya menjelaskan dua hal yang berbeda tapi dikumpulkan dalam satu ayat. Bagian pertama ayat ini merupakan kelanjutan ayat pertama surat ini, yang menyebutkan makanan-makanan haram, dan menerangkan sepuluh hal dari daging-daging yang telah diharamkan. Sebagian dari masalah ini menyangkut binatang-binatang, yang secara alami tertimpa suatu kejadian yang tidak disangka-sangka dan mendadak, sehingga mati terbunuh. Padahal ia termasuk binatang yang dagingnya halal, dan karena mereka tidak disembelih secara syar'i, maka dagingnya menjadi haram. Sebagian yang lainnya juga demikian, yaitu binatang-binatang yang dagingnya halal juga sudah disembelih, tetapi mereka disembelih tidak dijalan Allah SWT artinya disembelih dengan tidak menyebut nama Allah SWT, maka dagingnya haram.

Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan oleh Allah SWT, semata-mata bukan berdasarkan manfaat atau bahaya yang terkandung di dalam sesuatu itu terhadap tubuh manusia. Karena secara lahiriah daging binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah SWT tidak ada bedanya dengan daging binatang yang disembelih dengan menyebut nama Allah SWT. Tetapi diyakini penyebutan nama Allah SWT akan memberikan pengaruh psikologi kepada manusia itu, dimana Allah SWT  juga melarang memakan daging binatang semacam ini, yang mati dengan sendirinya atau disembelih tetapi tanpa menyebut nama Allah SWT.

Sekalipun dalam ayat-ayat Al Qur’an yang lainnya telah disinggung juga bahwa dalam kondisi dimana manusia berada dalam keadaan darurat dan terpaksa, karena kelaparan, maka seseorang dibolehkan memakan daging atau bahan-bahan makanan yang diharamkan. Namun kita diperintahkan hanya secukupnya saja yakni supaya dapat bertahan hidup. Dengan demikian, Islam telah memberikan jalan keluar kepada manusia bahwa kondisi darurat dan keadaan terjepit tidak boleh membuat manusia mendapat alasan untuk melakukan perbuatan dosa.

Sebagaimana yang  telah disebutkan bahwa ayat tersebut memiliki dua bagian. Yang pertama telah dijelaskan, sedang yang kedua ayat ini sepenuhnya tidak ada hubungannya dengan bagian ayat pertama tersebut. Yaitu, mengenai pengenalan sebuah hari besar, yang merupakan nasib baik dalam sejarah kaum Muslimin, yang menurut ungkapan Al Qur’an bahwa orang-orang Kafir tidak berhasil menguasai kaum Muslimin. Pada suatu hari agama Islam akan disempurnakan dan Allah SWT  juga akan menuntaskan nikmat-nikmat-Nya kepada kaum Mukminin. Hari tersebut yang bagaimana? Hari yang mana dalam sejarah Islam ataupun dalam kehidupan Nabi  Muhammad SAW yang begitu istimewanya, yang hanya terkait dengan peribadi seseorang!? Apakah ia adalah hari pengangkatan Nabi yang memiliki kepentingan dan keistimewaan terhadap semuanya, dan merupakan hari penyempurnaan agama? Atau hari hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah yang juga memiliki keistimewaan seperti itu?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di  atas, kita harus mengerti bahwa ayat tersebut kapan diturunkan, sehingga menjadi jelas berkenaan dengan hari apa? Menurut keyakinan para Mufassir, ayat-ayat tersebut diturunkan di akhir usia Nabi dan pada perjalanan haji Nabi Muhammad SAW tahun ke 10 Hijriah, yang terkenal dengan  Haji Wada (haji perpisahan). Karena ternyata merupakan perjalanan haji Nabi yang terakhir. Sebagian ayat itu menyebutkan hari Arafah tanggal 9 Dzulhijah, dan sebagian yang lain diturunkan pada hari sesudahnya, yakni tanggal 18 Dzulhijah di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir, Nabi SAW di tempat ini berkhutbah secara terperinci kepada para jamaah haji dengan menjelaskan berbagai poin yang sangat penting. Masalah paling penting yang dibicarakan beliau adalah  posisi pengganti atau Khalifah setelah beliau. Rasulullah dalam hal ini, melalui pernyataannya mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib RA tinggi-tinggi dan bersabda, "Ayyuhal Mu'minun! Man Kuntu Maulahu fahaadza Aliyyun Maulahu." Artinya, "Wahai orang-orang Mukmin! Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga sebagai pemimpinnya."

Setelah terealisasinya perkara penting tersebut, maka turunlah ayat ini yang merupakan bagian dari ayat ke 3 dari Surat Al-Maidah, dimana orang-orang  Kafir hingga saat itu berharap dengan meninggalnya Nabi Muhammad SAW yang tidak memiliki anak laki-laki, sehingga dapat menggantikan kedudukan beliau. Begitu juga  belum ditentukannya seseorang sebagai  Khalifah  beliau, maka mereka akan dapat mengalahkan kaum Muslimin dan pada gilirannya dapat melenyapkan Islam dari akarnya. Tetapi dengan diturunkannya ayat ini, semua angan-angan mereka hancur lebur.

Dari sisi lain, agama merupakan seperangkat undang-undang dan hukum-hukum Ilahi, tapi agama tetap kurang tanpa memiliki pemimpin yang adil. Sehingga dengan ditentukannya Khalifah atau pemimpin setelah beliau Nabi Muhammad SAW, maka agama akan menjadi sempurna. Allah SWT telah menjadikan nikmat hidayah kepada manusia yaitu dengan diutusnya Nabi yang membawa Al-Quran. Kemudian dengan perintah-Nya  telah menetapkan Ali bin Abi Thalib RA sebagai khalifah, maka sempurnalah  agama ini yang menjadi keridhaan Allah SWT.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:

1.       Perwujudan pemimpin  agama yang adil merupakan sesuatu yang penting, dimana agama tanpa yang demikian itu tidak sempurna. Karena tanpa adanya kepemimpinan, semua nikmat dan kekuasaan akan rusak berantakan sehingga tidak sempurna.
2.       Kekokohan dan kesinambungan ajaran Islam dengan menerima  kepemimpinan yang benar. Yakni, Imamah dan Wilayah terhadap 12 Imam setelah Nabi Muhammad, dimana Imam yang terakhir adalah Mahdi af  yang saat ini hidup dalam keadaan gaib. (IRIB Indonesia)

Pendapat Ahlul Bait

Surat Al-Maidah adalah surat yang paling terakhir turun, dan ayat ini adalah ayat yang paling terakhir setelah penyempurnaaan turunnya seluruh yang wajib. (Tafsir Al-Ayyasyi 1: 288; Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1: 582; Al-Kafi 1: 289)

Dalam Tarikh Al-Ya’qubi 2: 43 dikatakan: Sesungguhnya ayat yang paling terakhir turun adalah: Alyawma Akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaykum ni’maî wa radhîtu lakum al-Islâma dînâ.

1.       Pendapat Ahlussunnah yang sesuai dengan Ahlul bait:
Durrul Mantsur 2: 252 mengutip riwayat yang bersumber dari Said bin Manshur dan Ibnu Mundzir, dari Abu Maisarah, ia berkata: Surat yang terakhir turun adalah surat Al-Maidah, dan di dalamnya terdapat 17 kewajiban.
2.       Al-Mahalli 9: 407 menyebutkan: Kami meriwayatkan Aisyah Ummul mukminin RA berkata bahwa surat Al-Maidah adalah surat yang terakhir turun. Riwayat ini juga terdapat dalam jilid 7: 389. Riwayat yang semakna dengan riwayat ini juga terdapat di dalam:
a)      Musnad Ahmad 6/188.
b)      Sunan Al-Baihaqi 7/172.
c)       Thabaqat Al-Hanabilah 1/427.
d)      Mustadrak Al-Hakim 2/311. Hadis ini shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim, dan mereka tidak meriwayatkannya.
e)      Majma’ Az-Zawaid 1/256.
f)       Ad-Durrul Mantsur 2/525: Abu Abid meriwayatkan dari Dhamrah bin Habib dan Athiyah bin Qais, mereka berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Surat Al-Maidah adalah surat yang terakhir turun..”
g)      Tafsir At-Tibyan 3/413: Abdullah bin Umar mengatakan, surat yang terakhir turun adalah surat Al-Maidah.

Pendapat yang saling bertentangan

Dalam Al-Itqan 1: 101, As-Suyuthi nampak malu menyebutkan, saking banyaknya pendapat dan riwayat yang saling bertentangan, antara lain:

1.       Ayat yang terakhir adalah ayat tentang riba, yakni surat Al-Baqarah: 278.
2.       Ayat yang terakhir adalah ayat tentang pembagian warisan, yakni An-Nisa’: 176.
3.       Ayat yang terakhir adalah ayat ke 281 surat Al-Baqarah. (juga dalam Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabrani 12: 19).
4.       Ayat yang terakhir adalah ayat ke 93 surat An-Nisa’ ( juga dalam Bukhari 5: 182).
5.       Ayat yang terakhir adalah ayat 128 surat At-Taubat.
6.       Ayat yang terakhir adalah ayat 25 surat Al-Anbiya’.
7.       Ayat yang terakhir adalah ayat 110 surat Al-Kahfi.
8.       Surat yang terakhir turun adalah surat At-Taubat.
9.       Surat yang terakhir turun adalah surat An-Nashr.(juga dalam Shahih Muslim 8: 243)

Mengapa terjadi begitu banyak pendapat yang saling bertentangan?
Ada kisah menarik: Pada suatu hari khalifah Umar bin Khattab RA ditanyai tentang tafsir ayat riba dan hukum riba, ia tidak tahu dengan mengatakan: “Saya menyesalkan, karena ayat ini turun paling terakhir, dan Nabi saw wafat belum menjelaskannya kepadaku.”

Padahal ayat tentang riba disebut dalam 4 surat: Al-Baqarah: 275-276; surat An-Nisa’: 161; surat Ar-Rum: 39; surat Ali-Imran: 130. Ayat yang mana yang dia tidak bisa menjelaskan dan Rasulullah SAW belum menjelaskan?

Dalam Musnadnya 1: 36 Imam Ahmad mengatakan: Said bin Musayyab berkata bahwa Umar bin Khaththab RA mengatakan: “Sesungguhnya ayat yang terakhir turun adalah ayat tentang riba, dan Rasulullah saw wafat sebelum menjelaskannya…”Riwayat ini juga disebutkan dalam:

a)      Kanzul Ummal 4: 186.
b)      Al-Mansuth 2: 51, 12: 114.
c)       Bukhari 5: 115 meriwayatkan bahwa surat yang terakhir turun adalah surat Al-Bara’ah, dan ayat yang terakhir adalah ayat yang terakhir surat An-Nisa’ (Juga dalam jilid 5:185).

As-Suyuthi mengatakan dalam Al-Itqan 1:101: Syaikhan (Bukhari dan Muslim) meriwayatkan dari Barra’ bin Azib bahwa ayat yang terakhir turun adalah An-Nisa’: ayat terakhir, dan surat yang terakhir adalah surat Al-Bara’ah. Dalam Shahih Bukhari 6: 242 disebutkan: Umar bin Khattab berbidato di mimbar Rasulullah SAW: “Telah turun pengharaman khomer yaitu lima sesuatu: buah anggur, buah kurma, biji gandum (hinthah), biji gandum (syaîr), dan madu…” Lebih rinci dapat kita baca dalam:
1)      Shahih Muslim 2: 18; 5: 61; 8: 245.
2)      Sunan Ibnu Majah 2: 910.
3)      Ad-Durrul Mantsur 2: 249.
4)      Mustadrak Al-Hakim 2: 303.
5)      Shahih Muslim 5: 61.
6)      Ad-Durrul Mantsur 2: 250.
7)      Kanzul Ummal 11: 80, hadis ke 30688.

Bagaimana Umar bin Khattab RA sebagai khalifah tidak mengetahui ayat yang terakhir turun, hukum riba dan hukum waris kalalah? Sehingga berdampak pada generasi berikutnya, terjadi bermacam-macam pendapat yang saling bertentang.
BAB II
Sebab Turunnya Surat Al-Maidah: 3

Pendapat Ahlu bait
Ayat ini turun pada hari Kamis 18 Dzul-Hijjah di Juhfah ketika Nabi SAW pulang dari haji wada’, ketika Allah memerintahkan kepada beliau agar menghentikan kaum muslimin di Ghadir Khum. Yaitu ketika Nabi SAW berkhutbah di hadapan mereka untuk menyampaikan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA (Al-Kafi 1: 289)

Pendapat Ahlussunah yang sesuai dengan Ahlul bait
Sebagian Mufassir dan Ahli hadis di kalangan Ahlussunnah berpendapat bahwa ayat ini turun di Ghadir Khum sehubungan dengan pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib (RA) sebagai pemimpin pasca Rasulullah SAW.

Al-Hafizh Abu Bakar Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitab Tarikhnya 8: 290 meriwayatkan: Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya.” Kemudian Umar bin Khattab RA berkata: Selamat, selamat wahai putera Abu Thalib, engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin semua orang-orang mukmin. Kemudian turunlah ayat: Alyawma akmaltu lakum dînakum…(Al-Maidah: 3)

Hadis dan riwayat yang semakna dengan hadis tersebut terdapat juga dalam:
a)      Ad-Durrul Mantsur 2/259.
b)      Syawahid At-Tanzil Al-Haskani, jilid 1 halaman 157, hadis 211, 212, 213, 214, 215, 250, cetakan pertama, Bairut.
c)       Tarikh Damsyiq 2/73, Ibnu Asakir, hadis ke 575, 576, 578, 585, cetakan pertama, Bairut.
d)      Tarikh Baghdad 8/259, Al-Khathib Al-Baghdadi.
Lebih rinci Anda dapat membacanya dalam bab tentang hadis Al-Ghadir.

Pendapat ketiga :
a)      Shahih Bukhari 1: 16: Umar bin Khattab RA mengatakan ayat ini turun pada hari Arafah, hari Jum’at dalam haji wada’. (juga dalam jilid 5:127 dan jilid 8: 137).
b)      Sunan An-Nasa’i 5: 251: Dari Umar bin Khattab RA, ayat ini turun pada hari Arafah, hari Kamis, dalam haji wada’.

Mengapa Umar bin Khattab RA menyampaikan informasi penting ini berbeda-beda dan bermacam-macam? Satu sisi ia mengatakan ayat yang terakhir turun ayat tentang kalalah, ayat hukum waris, dan lainnnya, sehingga ayat ini turun sebelum ayat-ayat tersebut. Sisi yang lain ia mengatakan agama menjadi sempurna setelah ayat ini turun, tidak ada lagi hukum Islam yang turun sesudahnya.
               
Dari keterangan yang cukup panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ulama’ dari berbagai aliran saling bebeda pendapat masalah ayat terakhir turun, dalam penafsiran ayat ke-3 dari Surat Al Maidah.

                Akankah kita sebagai Umat yang bodoh dan rata-rata tidak layak untuk menafsirkan Al Qur’an ( karena bukan ahli tafsir ) memaksakan kehendak atau mengklaim bahwa kebenaran hanya ada pada Aliran yang kita anut???

Menjawab Pendukung Wahaby

Semua hal yang baik telah diperintahkan oleh Allah SWT, dan semua hal yang buruk sudah dilarang oleh Allah SWT. Berkata Imam Ibn Rajab dalam kitabnya Jami’ul Uluum walhikam bahwa kumpulan seluruh kalimat yang dikhususkan pada Nabi SAW ada dua macam, yang pertama adalah Al Qur’an sebagaimana firman-Nya Allah SWT : “Sungguh Allah telah memerintahkan berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” (QS Annahl 90)

Berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikanpun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua adalah hadits beliau Nabi Muhammad SAW yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau Nabi Muhammad SAW. (Tuhfatul Ahwadziy Juz 5 hal 135). Jelas sudah semua hal yang baik telah diperintah oleh Allah, semua hal yang buruk sudah dilarang oleh Allah SWT, apakah sudah ada dimasa Nabi SAW atau belum ada dimasa Nabi SAW. Berbeda dengan hal-hal yang fardhu, maka hal itu tidak bisa ditambahkan karena merupakan hal yang baku, penambahan fardhu shalat bukan hal yang baik, karena jika itu baik sudah dicontohkan oleh Rasul saw.Sebagaimana kalangan baru masa kini memberlakukan zakat profesi, dibayar setiap bulannya tanpa nishab dan haul, hal itu adalah Bid’ah munkarah dhalalah, karena zakat telah jelas dimasa Nabi SAW, tidak bisa diubah atau ditambah, kita bisa menerima jika dinamakan Sedekah profesi, maka hal itu boleh saja, namun ZAKAT, tidak bisa ditambah dan diubah dengan alasan apapun.

sebagaimana saya jelaskan dalam buku akidah tsb :
BID’AH
1.       Nabi SAW memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi SAW memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau Nabi Muhammad SAW : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid;ah dhalalah.

Perhatikan hadits beliau Nabi Muhammad SAW, bukankah beliau Nabi Muhammad SAW menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi Muhammad SAW yang tidak mencekik ummat, beliau Nabi Muhammad SAW tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman,

Inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam, bila yang dikatakan bahwa ayat ini bermakna sudah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Nabi Muhammad SAW, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau Nabi Muhammad SAW : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan…dst”, inilah yang  disebut Bid’ah Dhalalah.

Beliau Nabi Muhammad SAW telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau Nabi Muhammad SAW memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau Nabi Muhammad SAW saja, dan beliau Nabi Muhammad SAW telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

2.       Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Al Qur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq RA, berkata Abubakar Ashiddiq RA kepada Zeyd bin Tsabit RA : “Sungguh Umar RA telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al Qur’an dan tulislah Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah SAW??”, maka Abubakar RA mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al Qur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar shiddiq RA mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al Qur’an, karena sebelumnya Al Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW selepas melakukan shalat subuh beliau Nabi Muhammad SAW menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka Nabi Muhammad SAW bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dg geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yg baru, sungguh semua yg Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

Jelaslah bahwa Nabi Muhammad SAW menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah Nabi Muhammad SAW telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq RA dan Umar bin Khattab RA menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu pembukuan Al Qur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan RA, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib KW.

Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar Shiddiq RA dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Al Qur’an lalu kemudian Umar bin Khattab RA pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906) lalu pula selesai penulisan Al Qur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan RA hingga Al Qur’an kini dikenal dg nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib KW menghadiri dan menyetujui hal itu.

Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Nabi Muhammad SAW adalah dua kali adzan di Shalat Jum’at, tidak pernah dilakukan dimasa Nabi Muhammad SAW, tidak dimasa Khalifah Abubakar Shiddiq RA, tidak pula dimasa Umar bin Khattab RA dan baru dilakukan dimasa Utsman bn Affan RA, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

3.       Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Nabi Muhammad SAW dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Nabi Muhammad SAW telah jelas jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasulullah SAW?, beliau Nabi Muhammad SAW membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Nabi Muhammad SAW

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al Qur’an dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat.    
                              
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Nabi Muhammad SAW untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Nabi Muhammad SAW.
Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.

Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al Qur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah SWT, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut.
Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al Qur’an yang di kasetkan, di CD kan, Program Al Qur’an di handphone, Al Qur’an yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah. Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al Qur’an, untuk selalu membaca Al Qur’an, bahkan untuk menghafal Al Qur’an dan tidak ada yang memungkirinya.

Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al Qur’an tidak dibukukan oleh para Sahabat RA, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?

Al Qur’anmasih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al Qur’andi zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al Qur’an dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al Qur’an secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah SAW, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasulullah SAW yang telah membolehkannya, beliau Rasulullah SAW telah mengetahui dengan jelas bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya adalah Mutiara Al Qur’an sosok agung Abubakar Ashiddiq RA berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar”.Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg mereka berdua”.

Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal hal baru yangbaik adalah hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq RA, hati Umar bin Khattab RA hati Zeyd bin haritsah RA, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah SWT, Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah SWT, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasulullah SAW sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dg geraham yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka. Allah SWT menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dg Abubakar Asshiddiq RA, Umar bin Khattab RA , Utsman bin Affan RA, Ali bin Abi Thalib KW dan seluruh sahabat.. Amiin


Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1)      Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii) Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab RA (dalam SHahih Bukhari) mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2)      Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, atau perbuatan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh Hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017) dan Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3)      Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy Rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang dosanya”, Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)


Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid’ah yang Mubah adalah bermacam macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar RA atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).

Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits?, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa fatwa para Imam?

a)      Semua dalil diatas shahih, bahkan ayat Alqur’an telah memperjelasnya sebagaimana saya tuliskan diatas.
b)      Dan C. telah terjawab diatas. sebagaimana juga narkotika yang tidak pernah ada dimasa Nabi Muhammad SAW, lalu apakah ia halal..?

Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita cita.
Wallahu a’lam

Lampiran qs almaidah ayat 3 :


http://www.dudung.net/images/quran/5/5_3.png

Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (5: 3)

Apa perbedaan arti menyeluruh kalimat Akmaltu dan Atmamtu ?
1.       Apa yang dimaksud “ni’mati” dalam ayat tersebut?
2.       Kalimat “ Lakum “ Khitob kepada siapa?

Secara tafsir Akmaltu adalah:

بالنصر والإظهار على الأديان كلها ، أو بالتنصيص على قواعد العقائد ، والتوقيف على أحوال الشرائع وقوانين الاجتهاد

أَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِيناً
Artinya: pada hari ini sudah aku lengkapkan bagimu agamamu, dan aku sempurnakan atasmu ni’mat dariku serta aku restui bagimu islam sabagai agama (q. s Al- Mua’idah 53)
Berdasar atas ayat ini kiranya dapat dimengerti bahwa yang tersedia bagi umat islam berkena’an dengan agamanya tidak perlu lagi berijtihad yang mengakibatkan perbedaan pendapat karena sebagaimana ditegaskan dalam ayat diatas segala sesuatu yang berkenaan dengan agama sudah disempurnakan adanya atau dengan bahasa kita. Agama sudah (sempurna) dan paripurna. Selain dinyatakan dalam surat Al Ma’idah tadi dalam ayat lain juga disebutkan bahwa dalam Al Qur’an tersedia penjelasan untuk segala hal.
ونزلنا عليك الكتاب تبينا لكل شيئ
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (Q.s Al-Nahi Ayat 89 juz 14)
Untuk melepaskan diri dari pertanyaan yang dikatomis tadi ada hal yang dapat kita sepakati:
  1. Kesempurnaan Al Qur’an sebagaimana ditegaskan diatas bukanlah tatanan texnis yang bersifat detail, terperinci dan juz’iyahnya melainkan tatanan yang prensifil dan foundamental.

  1. Ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam Al Qur’an selaku kitab suci agama adalah sepiritualitas dan moral ajaran mana yang baik dan yang buruk untuk kehidupan manusia sebagai hamba allah yang beraqal budi sebagai acuan moral dan etika yang bersifat dasariyah. Al Qur’an sepenuhnya sempurna tidak kurang satu apa. Adapun yang muncul dalam manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya dari sudut moral dengan mengembalikan pada ajaran Al Qur’an yang prinsipil tadi inilah yang dimaksud dengan Al Qur’an merupakan kitab yang sempurna yang menjelaskan segala hal. Jadi jangan sekali-kali kita bayangkan bahwa kesempurnaan Al Qur’an terus dibuktikan dalam kemampuannya menjawab pertanyaan juz’iyah apalagi yang bersifat texnis operasional

Lagi pula penjelasan moral atau etika yang tersedia tidak selalu terapan pada semua kasus etika yang terjadi dalam kehidupan kita, karena Al Qur’an bukan kamus Ensiklopedia sehingga untuk menagkap petunjuk Al Qur’an atas persoaan-persoalan etika yang kita hadapi dalam kehidupan nyata terlebih dulu kita mengenal prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya. Ikhtiyar menyambungkan prinsip ajaran yang bersifat universal pada kasus-kasus kehidupan yang juz’iyah itulah disebut ijtihad yang terus dipukul dengan ketajaman nalar dan kejujuran hati manusia sebagai hambanya. Dan hasil ijtihad (sebagai proses intlektual untuk menurunkan ketentuan Universal pada kasus-kasus yang bersifat partikular sekaligus kerangka texnis operasional nya) itulah yang disebut fiqh. Seringnya terjadi perbedaan pendapat para intlektual tersebut karena dipengaruhi beberapa faktor .
a)      Ajaran agama yang dicanangkan dalam Al Qur’an atau Al Hadits ada yang qoth’i ajaran yang bersifat prinsip dan absolut dan tidak dapat ditawar lagi sebagaimana kewajiban Sholat sewaktu puasa Rhomadlon dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin ajaran yang bersifat juziyah (Partikular) dan oprasional yang masih mungkin di interpretasikan denagn berbagai ma’na contoh dalam ayat Al Qur’an disebutkan:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ " الأية" ( المائدة أية )
Dalam ayat ini jelas sekali Allah SWT mengharamkan darah dan daging babi namun tidak jelas dari berbagai hal:
Pertama   : Apa arti maitah itu sendiri sehingga terjadi perbedaan apa tulang dan bulu itu termasuk bagian maitah sebagaimana yang dikemukakan pendapat Syafi’I atau bukan? Sebagaimana pendapat hanafi atau tulang tergolong maitah sedangkan rambut bukan maitah, perbedaan ini muncul karna perbedaan tentang apa itu arti hidup? Imam Syafi’i berpendapat bahwa hidup adalah berkembang dan menerima makanan lain halnya dengan Imam Hanafi beliau berpendapat bahwa yang dikatakan hidup adalah anggota yang dapat merasakan sesuatu, demikian pula dengan imam malik hanya saja beliau berpendapat tulang dapat merasakan sesuatu.
Setelah mereka sepakat bahawa rambut yang terlepas dari hayawan yang halal untuk dimakan dagingnya ketika masih hidup tergolong barang yang suci setelah ia sepakat bahwa setiap sesuatu yang lepas dari hayawan yang masih hidup adalah maitah, karena ada suatu Hadits:
ما قطع من البهيمة وهي حية فهو ميتة
Artinya : Sesuatu yang lepas dari hayawan yang hidup termasuk dari pada bangkai
Kedua       :Mengenai sesuatu yang lepas dari hayawan yang masih hidup     termasuk bangkai apakah khusus apa segala penggunaan karna kata-kata hewan hanya hanya berlaku pada kata kerja bukan kata benda.
Ketiga       : Bangkai apa saja yang diharomkan?
Contoh lagi dalam kitab Al Qur’an disana disebutkan :
إِذاَ قُمْتُمْ اِلَى الصَّّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ......الأية المائدة
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa orang yang akan melakukan sholat secara ayat disana ada tuntutan untuk melaksanakan wudlu namun kurang jelas dalam berbagai segi :
Segi pertama : Apa arti sholat itu sendiri ? dan apakah sholat jenazah termasuk pada sholat yang ada dalam kata sholat yang berada dalam ayat diatas karana dalam sholat jenazah disitu tidak terdapat ruku’ dan sujud, padahal Rosululloh pernah bersabda :
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى
Artinya : sholatlah kalian semua sebagaiman kalian mengetahui aku sholat.
Sedangkan sholat yang kita ketahui dari Rasulullah SAW adalah sholat yang ada ruku’ dan sujudnya sebagaiman apa yang telah sitegaskan dalam Al Qur’an:
وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ..... البقرة
Demikian halnya sengan masalah thowaf apakah juga harus suci dari hadats karna ada Hadits yang diceritakan oleh Imam turmudzi yang mengatakan:
الطواف بالبيت صلاة الا ان الله احل فيه الكلام
Segi kedua          : Perintah wudlu’ dalam ayat diatas ini semata-mata hanya menjadi sarana sholat sehingga tidak perlu niyat sebagaimana pendapatnya imam Hanafi, karena berbeda dengan menutup aurot ataukah memang wudlu’ termasuk iabadah yang diperintahkan bukan hanya menjadi sahnya sholat saja terbukti walau masih belum hadats orang akan sholat tetap diperintahkan wudlu’ maka harus niat karena termasuk dalam ayat :
وَمَا اُمِرُوْا اََِلاَّ لِِِِيَعْبُدُ اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
b)      Karena berbeda menentukan ajaran qot’i dan dzonni sebagaiman dilakukan satu jama’ah jum’ah dalam satu balad tanpa ada hajad mulai zaman Rosul sampai pada orang-orang yang lemah yang merasa kesulitan untuk mendatangi pada jama’ah tsb. Dan didukung dengan penuh perhatian Rasulullah SAW pada kaum-kaum yang lemah . Ini berarti hal yang qot’I dan tidak dapat ditawar lagi tapi juga mungkin karena jama’ah Rasulullah SAW dianjurkan satu jama’ah karena untuk mendengarkan wahyu darinya, sedangkan ada zaman shohabat hanya du hawatirkan adanya fitnah sehingga jika acuab siatas taelah tiada maka tidak ada masalah jum’atan lebih dari pada satu jama’ah, berarti ajaran tersebut dikategorikan dzonni. Demikian pula ada perbedaan penelitiian dzonni dan qot’i adanya imam harus seorang pria.
c)       Berbedanya situasi dan kondisi umat sebagaimana yang terjadi dalam menentukan ajaran agama diantara intelektual Hijaz dan intelektual Irak, bagi hijaz telah mempertahankan teks hadits dan fatwa shohabat dan bagi intelektual irak lebih mengedepankan esensi dari pada teks dengan dirasionalkan dan mempertahankan dari pada tujuan syariat, contoh saja dalam hadits
ان في كل اربعين شاة شاة وان صدقة الفطر صاع من تمر او شعي وان من الشاة المصراة بعد اجتلاب لبنها رد معها صاعا من تمر
Intelektual Irak memahami hasits diatas dengan rasional dan disesuaikan dengan tujuan syareat yaitu bagi pemilik 40 kambing harus memberi santunan pada fuqoro’ dengan satu kambing atau yang senilai. Orang yang mengeluarkan zakat fitroh, wajib satu sho’ kurma atau yang senilai, air susu yang telah diperas harus diganti dengan sesamanya atau yang senilai, berbeda dengan intelektual tanah Hijaz mereka memahami teks tersebut dengan apa adanya tanpa meniggalkan syareat oleh karenannya mereka mengharuskan mengeluarkan kambing dan juga khusus dengan sho’, tidak diperbolehkan mengeluarkan dengan nilai dari barang tersebut.
Hal ini dipengaruhi setidaknya tiga hal yaitu :
1)      Hadits dan fatwa shohabat yang diterima oleh para intelektual Irak tidaklah sebanyak apa yang diterima oleh para intelektual Hijaz.
2)      Situasi dan kondisi di Irak telah tersebar beberapa fitnah karna negara tersebut telah menjadi pangkalan pelarian orang-orang syiah dan khowarij sehingga banyak pemalsuan hadits atau perubahan sehingga sangat perlu adanya selektif yang sangat ketat yang berakibat pada sangat minimnya hadits yang lulus sensor.
3)      Lingkungan di Irak tidak sama dengan lingkungan di Hijaz, ketegasan hukum dan kasus juga tidak sama, karena pemerintah paris telah meninggalkan beberapa adat istiadat dan muamalah yang tidak ada pada tanah Hijaz
4)      Karena berbedanya cara memberi pertimbangan pada hadits dan mengedepankan stui riwayat yang lain. Misalnya Abu Hanifah dan para pengikutnya telah membuat dasar hukum dengan hadits mutawatir dan masyhur dan mengedepankan hadits yang tidak diriwayatkan oleh para intelektual agama, oleh karenya Abu yusuf berkata :
وعليك بما عليه جماعة من الحديث وما يعرفه الفقهاء
Artinya : Anda harus mengambil hadits yang telah didukung oleh golongannya ulama’ dan telah diketahui oleh para intelektual agana.
Sedang Imam Malik dan para shohabat dan pengikutnya lebih mengedepankan apa saja yang menjadi keputusannya ahli Madinah dan tidak memakai hadits Ahad yang berbeda dengan keputusan Ahli Madinah. Untuk mujtahid lain telah mengambil hadits ysng diriwayatkan orang-orang adil baik intelektual atau bukan, identik dengan fatwa Ahli Madinah atau tidak. Dari faktor ini kan berkembang bahwa intelektual Irak seperti Abu Hanifah telah membuat keputusan bahwa Hadits Masyhur sama dengan hadits mutawatir mampu mentakhsis dalil Al Qur’an yang masih umum, dan mampu mengqoyidi dalil yang mutlak, berbeda dengan intelektual yang lain.
5)      Karena berbeda memberi pertimbangan fatwa shohabat yang hasil dari ijtihad mereka, Abu Hanifah dan santrinya telah menggunakan dasar hukum atas keputusan shohabat walau hasil ijtihad bagi Syafi’I serta pengikutnya menganggap bahwa hasil ijtihad shohabat tidak ma’sum ( ada jaminan kebenaran ) maka perlu ijtihad sendiri walau hasilnya berbeda dengan hasil ijtihadnya shobat.
6)      Karena menanggapi dasar-dasar yang timbul karena gramatika ( susunan bahasa ) sebagaimana yang berpendapat bahwa teks dapat dijadikan dasar penetapan dalam dalil mantuq ( bahasa nyata ) dan mengantarkan keputusan dalam dalil mafhum mukolafahnya ( asumsi yang terkandungnya ) sebagian tidaklah demikian, ada yang berpendapat dalil yang masih umum maka qot’I dalam semua yang dimuat, sebagian lain ada yang berpendapat dzonni ( dugaan ) dan jika ada amar mutlaq berarti menunjukkan dasar hukum wajib kecuali ada dalil yang merubahnya, sebagian malah justru sebaliknya masih banyak. Masih banyak lagi fakyor-faktor yang mengakibatkan berbeda oendapat yang tidak mungkin disebutkan disini dengan keseluruhan.





TENTANG PENULIS

Parsono Agus Waluyo anak ke 3 dari 6 bersaudara ( 1 telah wafat ), Lahir di Karanganyar  pada 12 Oktober 1976 dari pasangan bpk Wiryo Sutarno alias Samidi alias Kasjo dengan ibu Parti, yang saat ini tinggal di Dusun Kembang RT 01 RW IV, Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Solo. Beliau yang pernah menimba ilmu di Sekolah –sekolah umum, antara lain, SD Negeri 1 Doplang pada tahun 1982 – 1988, kemudian di SMP Negeri 2 Karangpandan pada tahun 1988 – 1991, selanjutnya di STM Negeri 1 Solo pada tahun 1991 – 1993. setelah menimba ilmu di Sekolah – sekolah umum  Beliau mulai menimba ilmu Agama Islam, yang pada tahun 1994 – 1995 beliau ngaji di MTA sambil bekerja mencari pengalaman hidup.

                Pada tahun 1996 – 1998, Beliau nyantri di salah satu Pondok Pesantren Salafiyah Kediri, yaitu Pondok Pesantren Ringin Agung Pare, Kediri, Jawa Timur. Tahun 1998- 1999 beliau mulai ngaji di Pondok Pesantren Modern Badrus Salam yang berlokasi di Gorang, Gareng, Magetan, Jawa Timur. Kemudian pada Tahun 1999-2000, belajar di Pondok Pesantren Salafiyah Mujaddiyah, Demangan, Kodya Madiun, Jawa Timur sambil Kuliah di UII Madiun.

                Pada akhir Tahun 2000, beliau Menikahi seorang gadis bernama Nanik Pujiati, yang tinggal Dusun Kasihan, Desa Puntukrejo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Yang saat itu beliau hanya bermodal Rp. 25.000(Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) yang Rp. 17.000 sebagai Mahar atau Mas Kawin dan sisanya untuk keperluan lainnya.

Setelah berkeluarga, beliau  terinspirasi dari Pengalaman belajar di STM Negeri 1 Solo pada tahun 1992 dan Pondok Pesantren Ringin Agung Pare, Kediri, yaitu beliau mulai menggeluti dunia pembuatan Pemancar Radio FM. Kemudian pada Tahun 2000 sampai 2006 Beliau bekerja sambil belajar Agama di berbagai Ormas Islam seperti, DDI ( Dewan Dakwah Islamiyah) Surabaya dan beberapa Pondok Pesantren Salsfiyah, selama Tahun – tahun tersebut Beliau tidak lagi menggeluti bidang pembuatan pemancar Radio FM, akan tetapi pada tahun 2007 hingga saat ini, Beliau bergelut dalam dunia Radio kembali, mulai dari Teknisi, General Manager, Penyiar, Nara Sumber di berbagai acara, serta Kajian Islami.

Bapak 3 ( Tiga ) Anak yang bercita – cita menjadi Manusia yang bermanfaat bagi Orang lain. 3 anak Beliau tersebut bernama, Sulaiman Ja’far Sidiq yang saat ini duduk dibangku kelas 5 MI Bunga Bangsa Pondok Pesantren Salafiyah di Dolopo, Madiun, Jawa Timur. Anak  yang kedua adalah seorang putri bernama Ratu Sima Ummul Mu’minin yang saat ini masih duduk dibangku Kelas 1 MI Unggulan Al Huda Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah. Anak yang ketiga bernama, Malahayati Salsabila yang masih berumur 2 tahun.




0 comments:

Post a Comment