DAPATKAN! Buku Pitutur Luhur (Rp.5.000) dan CD MP3 Pitutur Luhur oleh Ustadz Parsono Agus Waluyo ( Karangpandan, Solo - Indonesia

Monday, 21 January 2013

Hadrah, Eskpresi Cinta Nabi

Hadrah atau lebih populer dengan sebutan terbangan perkembangannya tak lepas dari sejarah dakwah Islam. Seni ini memiliki semangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada yang tahu secara persis, kapan datangnya musik hadrah di Indomesia. Namun hadrah atau yang lebih populer dengan musik terbangan (rebana bahasa jawa) tersebut tak lepas dari sejarah perkembangan dakwah Islam para Wali Songo.
Hadrah, Eskpresi Cinta Nabi
Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa pada setiap tahun di serambi Masjid Agung Demak, Jawa Tengah diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana. Para Wali songo menggadopsi rebana dari Hadrolmaut sebagai kebiasaan seni musik untuk dijadikan media berdakwah di Indonesia.

Menurut keterangan ulama besar Palembang Al Habib Umar Bin Thoha Bin Shahab, adalah Al Imam Ahmad Al Muhajir (kakek dari Wali Songo kecuali Sunan Kalijaga),  ketika hijrah ke Yaman ( Hadrolmaut ) bertemu dengan salah satu pengikut tariqah sufi (darwisy) yang sedang asyik memainkan hadrah (rebana) serta mengucapkan syair pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan pertemuan itu mereka bersahabat. Setiap Imam Muhajir mengadakan majelis maka disertakan darwisy tersebut, hingga keturunan dari Imam Muhajir tetap menggunakan hadrah  disaat mengadakan suatu majelis.

Hadrah selalu menyemarakkan acara-acara Islam seperti peringatan Maulid Nabi, tabligh akbar, perayaan tahun baru hijriyah, dan peringatan hari-hari besar Islam lainnya. Sampai saat ini hadrah telah berkembang pesat di masyarakat Indonesia sebagai musik yang mengiringi pesta pernikahan, sunatan, kelahiran bayi, acara festival seni musik Islami dan dalam kegiatan ekstrakulikuler di sekolahan, pesantren, remaja masjid dan majelis taklim.

Makna hadrah dari segi bahasa diambil dari kalimat bahasa Arab yakni hadhoro atau yuhdhiru atau hadhron atau hadhrotan yang berarti kehadiran. Namun kebanyakan hadrah diartikan sebagai irama yang dihasilkan oleh bunyi rebana. Dari segi istilah atau definisi, hadrah menurut tasawuf adalah suatu metode yang bermanfaat untuk membuka jalan masuk ke ‘hati’, karena orang yang melakukan hadrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah dan Rasul-Nya.

Syair-syair Islami yang dibawakan saat bermain hardah mengandung ungkapan pujian dan keteladanan sifat Allah dan Rasulallah SAW yang agung. Dengan demikian akan membawa dampak kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Para sufi yang biasanya melibatkan seruan atas sifat – sifat Allah yang Maha Hidup (Al-Hayyu), melakukannya sambil berdiri, berirama dan melantunkan bait-bait pujian atas baginda Nabi Muhammad SAW.

Kekuatan Mahabbatur Rasul

Pujian terhadap Rasulullah baik dalam bentuk prosa maupun syair, telah ada sejak zaman Rasululah SAW lewat bait-bait gubahan tiga penyair terkenal yaitu Hasan ibn Tsabit, Abdullah ibn Rawahah dan Ka’ab ibn Malik. Nabi justru sangat terkesan dengan keindahan syair (qasidah) yang disampaikan oleh Ka’ab ibn Zuhayr ibn Abi Salma. Karena rasa sukanya, Nabi Muhammad pernah menghadiahkan selendang (burdah) untuk Ka’ab.

Sanjungan yang sering disampaikan para shahabat ini bersifat metaforik dan gaya simbolik sehingga mengilhami syair dan prosa dalam kitab-kitab Malid semisal al-Barzanji, ad-Diba’i, atau qasidah al-Burdah.

Adalah Imam Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Zaid as-Shanhaji al-Bushiri (1213-1296 M/610-695 H) ahli hadis, penulis, sekaligus sastrawan kondang asal Mesir yang menulis 162 syair burdah. Semasa hidupnya al-Bushiri pernah berguru kepada Imam as-Syadzili (pendiri Tarikat Sadziliyah) dsn penerusnya Abdul Abbas al-Mursi.

Sajak-sajak Burdah yang 162 bait itu terdiri dari 10 bait tentang cinta, 16 tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Rasulullah SAW, 19 tentang kelahirannya, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang Isra’ Mi’raj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan munajad.

Al-Bushairi memulai karyanya dengan membuka pertanda mabuk asmara dengan bercucuran air mata dan kegalauan hati. Tetapi ia mengingatkan bahwa tetesan air mata dan kegalauan itu tak selamanya menandakan cinta, karena didepan telah ada hawa nafsu yang siap membelokkan arah. “Nasfu ibarat anak kecil yang jika dibiarkan akan terus menyusu hingga masa mudanya, tapi jika dihentikan sedikit demi sedikit, ia akan berhenti dengan sendirinya.” (Bait ke-19).

Bagi al-Bushiri nafsu seolah binatang gembala yang harus terus dijaga setiap saat. Sekalipun ia terlihat tenang ketika menikmati makanan rumput yang hijau, tetap jangan lengah.” (Bait ke-21). Setelah menyadari bahwa nafsu selalu dinahkodai setan,  maka al-Bushiri memperkenalkan sosok yang seluruh tenaga, pikiran, hati dan waktunya dihabiskan untuk kebenaran yaitu Nabi Muhammad SAW. Segala hinaan, permusuhan, lemparan batu dan kotoran, hingga usaha pembunuhan diterimanya dengan penuh ketabahan. 

Al-Bushairi menyadari bahwa betapapun besar pujinya untuk Nabi SAW, namun semua tidak menambah kemuliaan dan kedudukan Nabi. Di puji dan tidak pun Nabi Muhammad akan tetap mulia karena kemuliaan itu telah melekat dalam dirinya.

Sementara dalam kitab al-Barzanji karya Syekh Jafar Al Barzanji ibn Husin ibn Abdul Karim (1690-1766 M), sebagian syairnya mengungkapkan adanya rasa kerinduan akan hadirnya seorang pemimpin seperti Nabi Muhammad SAW yang tegas, jujur dan bijaksana.

Karya sastra yang begitu masyhur di Tanah Air ini bahkan pernah disyarah (dijabarkan) oleh Syekh Nawawi al-Bantani dengan judul Madarijus Shu`ud ila Iktisa` al-Burud. Penulisan Kitab Barzanji juga tidak terlepas dari sejarah panjang konflik militer dan politik antara umat Islam dan umat Kristen Barat dalam Perang Salib. Selama Perang Salib berlangsung, Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M) mengobarkan semangat perjuangan dengan meneladani perjuangan Nabi Muhammad dalam peringatan Maulid Nabi.

Segenap ulama seperti Imam Syafi’i, Hasan Basri dan Ibnu Taimiyah sepakat bahwa pujian terhadap Nabi Muhammad SAW adalah hal yang wajar asal tak sampai mengangkat derajad kemanusiaan (Nabi Muhammad) ketingkat ketuhanan (deity). Syair Burdah dan Barzanji secara tidak langsung memiliki kekuatan yang akan membawa hati dan pikiran manusia terbawa hanyut dalam pesona cinta (mahamatur Rasul).

Budaya di Indonesia

Pasca kemerdekaan, perkembangan musik hadrah di Indonesia tak terlepas dari peranan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (Ishari). Ishari adalah salah satu badan otonom yang berada di bawah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), disahkan pada tahun 1959. Pengorganisasian dan nama ISHARI diusulkan oleh salah seorang pendiri NU yakni KH Wahab Chasbullah.

Menurut Gus Hasib, putra KH Wahab Hasbullah, semasa hidup, Kiai Wahab sangat senang hadrah. Bahkan kalau sedang diam tangannya suka memukul-mukul sebagai isyarat memukul terbang (hadroh: red) sambil melagukan bacaan sholawat. Karena ia juga senang berorganisasi akhirnya kelompok hadrah dibuatkan wadah perkumpulan dibawah organisasi NU dengan nama ISHARI atau Ikatan Seni Hadroh Republik Indonesia.

Terbentuknya ISHARI di NU menjadi salah satu organisasi yang memelopori tradisi keagamaan warga pesantren dengan menghidupkan pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Hampir seluruh pesantren di Jawa Timur memiliki kegiatan ekstra setiap malam jum’at menggelar kegiatan shalawatan. Sebut misalnya Pondok Pesantren Langitan Tuban, Jawa Timur. Selain mendalami ilmu agama, di pesantren yang diasuh KH Abdullah Faqih ini juga terdapat kegiatan seni hadrah untuk para santri.

Hadrah menjadi media apresiasi seni bagi para santri untuk menyalurkan bakat dan minat santrinya. Walhasil, beberapa group pun terbentuk antara lain Annabawiyyah, Arraudhah dan Al-Muqtasida. Kemahiran para santri dalam bidang seni suara (qiraat) dan seni musik (hadrah) berpadu sehingga tiga grup tersebut dikenal khalayak umum di wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, hingga sekarang.

Di era 80-an, musik hadrah yang dikenal dengan nama rebana qasidah menjadi salah satu musik favorit pada saat itu. Group musik yang menyemarakkan acara-acara tabligh akbar atau perayaan hari-hari besar Islam adalah Nasida Ria, Semarang. Kepiawaian para personil yang terdiri dari kaum perempuan ini mampu membumikan nama Nasida Ria ke seluruh nusantara sebagai salah satu musik Islami modern. Lirik dan warna musik yang ditawarkan Nasida Ria mendapatkan sambutan luas dari masyarakat Muslim Indonesia. Bahkan, salah satu lagunya yang berjudul ”Perdamaian” dipopulerkan kembali oleh Gigi.

Pada tahun 1990-an, muncul kelompok-kelompok kasidah rebana beraliran pop yang dipopularkan oleh Hadad Alawi dan Sulis. Haddad Alwi tidak hanya membawakan lagu-lagu berlirik Arab namun juga menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia. Salah satu syair fenomenal yang dibawakan Hadad Alwi adalah do’a I’tiraf (pengakuan), gubahan penyair Irak terkenal, al-Hasan ibn Hani al-Hakami atau Abu Nawas (136 – 196 H).

Dalam syair I’tiraf (pengakuan) Abu Nawas sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah orang ideal untuk masuk surga. Namun ia pun tak akan sanggup menahan siksa api neraka. Satu kesadaran bahwa dia benar-benar orang yang banyak dosa. Dosa yang telah ia perbuat bagaikan pasir di pantai. Oleh karena itu ia kembali kepada Allah momohon ampunan karena tak ada yang sanggup memberi ampunan kecuali Rahmat-Nya. / ahm

NU, Historiografi, dan Peristiwa Pasca September 1965

Berbicara tentang NU (Nahdlatul Ulama) kita akan membicarakan suatu komunitas Islam tradisional yang turut berperan penting dalam menentukan pemikiran dan gagasan tentang negara bangsa bernama Indonesia.
Secara historis, NU terlahir pada dekade 1920-an di Surabaya, salah satu kota pusat pergerakan nasional di Indonesia.
Dalam periode pergerakan nasional itu kita menemukan kisah bahwa KH Wahab Chasbullah, sang penggagas NU, bergaul akrab dengan Cokroaminoto bersama semua anak didiknya seperti Soekarno, Musso, Alimin, Kartosuwirjo, dan lain-lainya yang tengah menempuh pendidikan tingkat menengah di Surabaya.

Banyak karya indonesianis yang telah mengungkap peranan NU dalam berbagai periode sejarah Indonesia, meski masih banyak pula peranan NU yang belum terungkap di dalamnya. Sebagimana dituliskan Henk Schulte Nordholt dkk (2008) bahwa jika kita mengakui bahwa sejarah tentang apa yang terjadi dan sejarah tentang apa yang dikatakan telah terjadi adalah dua dimensi dari penulisan sejarah, maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan tentang sejuh mana terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu belum selesai. Menurut Nordholt ada dua faktor utama yang telah membentuk situasi tersebut; pertama, pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu; kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.

Demikian halnya dengan historiografi NU --sebagai derivasi dari historiografi Indonesia-- selama ini harus menghadapai dua faktor tersebut di atas. Berbagai historigrafi nasional yang selama ini menempatkan NU dalam posisi yang tidak tepat dan seolah-olah peranan NU dinihilkan adalah produk historiografi dari sumber-sumber daya yang dikuasai oleh Negara dan kekuasaan politik tertentu yang tidak melibatkan NU sebagai pelaku sejarah. Selain itu, narasi besar sejarah Indonesia dalam periode-periode penting yang telah dihasilkan oleh indonesianis seperti George Mc Turnan Kahin, Herbert Feith, Lance Kastle, JD Legge, telah menempatkan NU sebagai komunitas yang kurang mempunyai peranan dalam sejarah, sebagai variable negative dalam sejarah, digambarkan sebagai kelompok puritan yang tidak terdidik, para pemimpinnya berwawasan jumud berbasis massa tapi tidak mempunyai pemikiran politik yang orisinil, dan berbagai label lainnya yang cukup merugikan NU sebagai sebuah komunitas.

Akhir-akhir ini, narasi besar semacam itu, terutama yang terkait dengan apa yang terjadi atau apa yang dikatakan telah terjadi pasca peristiwa September 1965 kembali meletakkan NU pada posisi yang sangat merugikan bagi NU. Dalam suatu opininya majalah Tempo (Edisi 1-7 Oktober 2012) menuliskan “NU adalah organisasi yang aktif berperan membersihkan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur”, suatu pernyataan yang sudah pasti menyudutkan NU dalam suatu titik sejarah kelam bangsa Indonesia. Dalam redaksi semacam itu orang akan mudah berkesimpulan bahwa NU adalah satu-satunya pelaku aktif dalam peristiwa itu, dan seolah-olah pula peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang berdiri tunggal, terpisah dari peristiwa lainnya yang mendahuluinya atau menyudahinya. Tapi demikianlah sejarah adalah milik siapa yang menuliskannya, tafsirannya kemudian diserahkan kepada khalayak publik yang membacanya.
***

Dalam menyikapi itu, baiknya NU harus mengingatkan kepada semua komponen bangsa ini, baik pemerintah, akademisi, aktivis HAM, media massa, dan semua organisasi masyarakat yang ada, bahwa suatu narasi sejarah tidaklah hanya suatu urutan (sequence) yang disusun oleh para sejarawan atau bahkan oleh para awak jurnalis suatu media, yang lalu dapat dikisahkan secara naratif tanpa melihat kausalitas dan penjelasan sejarah yang diharapkan dapat menjernihkan suatu peristiwa dengan sebaik-baiknya. Pada saat ini bangsa Indonesia --termasuk NU-- membutuhkan suatu narasi sejarah yang dibentuk melalui suatu penafisiran, pemahaman, dan pengertian yang dapat menjelaskan adanya suatu relativisme dalam penjelasan sejarah. Sejarah adalah suatu ilmu yang merekonstruksi suatu peristiwa masa lampau dengan manusia sebagai subyek pelaku dan obyeknya sekaligus. Sejarah bukanlah disiplin ilmu sebagaimana ilmu alam atau ilmu eksakta yang menerangkan sesuatu serba ajeg dan terukur sehingga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam sejarah selalu ada unsur manusia yang unik dan partikular di dalam berbagai lintasan peristiwa lampau, sehingga objektifitas studi sejarah akan berbeda dengan objektifitas studi ilmu alam atau ilmu eksakta misalnya.  

Dengan pemahaman sejarah yang sedemikian rupa, NU harus segera menyusun suatu historigrafi yang mampu menjawab atau memaparkan berbagai peristiwa sejarah dalam suatu perspektif yang berbeda dari apa yang selama ini dinarasikan dalam historiografi nasional, historiografi kelompok tertentu, atau opini jurnalistik yang disebarkan kepada kalangan luas di luar NU. Suatu historiografi yang dianggap objektif harus mendapatkan kritik dan perbandingan dari historiografi lainnya yang juga mempunyai potensi objektifitas yang sama. NU berhak untuk melakukan hal itu, menandingi berbagai sumber daya pembentuk narasi sejarah yang meletakkan NU pada posisi yang tidak menguntungkan bagi masa depan NU.

Sebaiknya yang dilakukan NU bukanlah sekedar pembelaan, tapi lebih utama lagi NU harus mengembalikan diskursus peristiwa pasca September 1965 sebagai ranah studi sejarah yang terbuka untuk terus dikaji, ditafsirkan, dan dituliskan dengan berbagai kemungkinan fakta sejarah yang tidak datang dari satu dimensi saja. Kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab atas keabsahan fakta apa yang nantinya diungkapkan harus benar-benar menjadi pedoman utama dalam penulisan sejarah NU. Pedoman semacam ini juga berlaku dalam menuliskan peran sejarah NU dalam berbagai masa dan peristiwa lainnya yang terjadi di Indonesia.

***

Lalu apa modal yang telah tersedia untuk menyusun historiografi NU? Antara lain di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) terdapat beberapa rol mikro film tentang arsip-arsip organisasi NU yang sangat berharga dan jarang dijamah oleh para peneliti sejarah. Paling tidak sebagai langkah awal NU harus segera menyusun suatu summary untuk berbagai arsip tersebut, memilah-milah diantara informasi kronologis, informasi kebijakan, dan produk pemikiran yang lahir dalam organisasi NU.

Selanjutnya di arsip Pusjarah TNI (Museum Satria Mandala) juga terdapat koleksi koran NU, yaitu Duta Masyarakat pada awal 1950an yang lebih lengkap daripada koleksi yang ada pada Perpustakaan Nasional. Dalam koran-koran itu terserak berbagai pemikiran tokoh-tokoh NU yang selama ini dianggap dan dinarasikan oleh para Indonesianis bahwa tokoh-tokoh NU itu jarang menulis dan hanya sedikit saja mempunyai produk pemikiran yang berarti. Padahal, jika kita telusuri berbagai bulletin atau selebaran Masyumi sejak periode pra kemerdekaan hingga berbagai kolom Duta Masyarakat yang beredar pada periode Orde Lama, tokoh-tokoh NU seperti Wahid Hasyim, Saifuddin Zuhri, dan A.A Achsien adalah para aktivis pergerakan yang aktif menuangkan pemikiran mereka dalam tulisan. Demikian halnya pada periode setelah Orde Lama, Mahbub Junaidi, Said Budairy, dan tentu saja Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh-tokoh NU yang piawai dalam mengolah pemikirannya dalam suatu tulisan tersiar.

Diluar data-data itu, berbagai arsip organisasi juga dapat kita himpun dari berbagai pelaku sejarah NU yang gemar menyimpan arsip-arsip NU sebagai koleksi pribadi atau koleksi keluarga. Mereka kebanyakan menganggap bahwa arsip-arsip NU itu bersifat sakral dan warisan orang tua yang harus dijaga sehingga mereka tak mudah untuk merelakannya kepada orang lain kecuali benar-benar percaya bahwa warisan itu akan terawat dengan baik. Idealnya arsip-arsip itu dihimpun dan disimpan oleh bagian Arsip PBNU atau paling tidak copy arsip tersebut baik dalam bentuk fisik maupun digital tersimpan di PBNU. Melalui cara itu usaha memetakan dan membuat summary arsip-arsip NU tersebut dapat dilakukan dengan baik. Dengan begitu arsip-arsip itu akan segera memberikan manfaat kepada kita, yaitu informasi sejarah yang berharga dan tidak hanya tersimpan sebagai lembaran kertas usang yang tak bermanfaat.    

Selain melakukan usaha penelusuran berbagai sumber sejarah yang telah ada, NU sebagai organisasi modern juga harus mulai melakukan sistem pendokumentasian aktivitas organisasi secara teratur, dan menata sistem kearsipan dan pustaka NU dengan lebih sistematis. Dari mulai saat ini, yang juga mendesak untuk dilakukan adalah usaha pendokumentasian secara audio dan visual kisah kisah para pelaku sejarah NU dalam setiap lapisan masyarakat. Dari mulai kyai, sebagai pemimpin NU, jamiyyah NU yang setia menjadi santri para kyai kyai itu, hingga para anggota Banser yang selalu siap sedia di garis depan membantu hampir semua aktivitas NU, sebaiknya tak luput dari usaha pendokumentasian. Pendokumentasian ini harus segera dilakukan dan secara simultan dilakukan analisa berupa cek silang narasumber untuk suatu masalah tertentu yang kebetulan saling terkait satu sama lain. Meskipun tingkat subjektifitas dokumentasi semacam ini relatif tinggi, tapi sebagai upaya untuk membangun suatu objektifitas sejarah pada level yang lebih besar lagi, di luar NU, dokumentasi itu sangat dibutuhkan.  

***

Dengan berbagai modal sumber sejarah yang telah ada maupun yang sedang diadakan itu, usaha untuk mewujudkan suatu historiografi NU adalah suatu keniscayaa. Bahkan, hingga saat ini NU adalah satu-satunya organisasi masyarakat Islam yang telah memiliki museum (Museum NU, Gayungsari, Surabaya). Meski harus terus ditingkatkan sistem penataan tata pamernya, Museum NU di Surabaya adalah bukti bahwa kesadaran bersejarah telah terpupuk dalam diri warga NU. Museum itu adalah bentuk lain dari sebuah historiografi yang seharusnya tertulis dan terekam dalam bentuk narasi tekstual. Dan dari museum NU itulah antara lain dapat kita sadari bahwa sesungguhnya banyak benda-benda bersejarah milik NU yang dapat dikembangkan menjadi sebuah kisah sejarah, lalu jika dituliskan sesuai dengan metode sejarah yang baik, sudah tentu akan menjadi sebuah karya historiografi.

Sesederhana apa bentuknya, menurut hemat saya, kisah sejarah yang telah tertulis dan terekam adalah bagian dari historiografi. Misalnya saja, sejak beberapa tahun yang lalu NU Online mempunyai rubrik  fragmen sejarah --yang dituliskan oleh para awak media online NU – juga dapat dianggap sebagai historiografi NU. Penggalan kisah kisah kecil (petite histoire) dalam fragmen itu bila disusun secara sistematis dan tersampaikan dalam bentuk teks yang lebih menjangkau masyarakat NU secara luas --terutama generasi muda-- akan dapat menjadi media historiografi NU yang sangat efektif dan lebih bersifat kultural. Meskipun secara politis, dalam, konteks NU sebagai organisasi masyarakat yang juga bermain dalam ranah perebutan ruang kekuasaan negara atau apapun namanya, juga sah-sah saja mempunyai suatu buku babon sejarah NU yang lebih bersifat propaganda atau mungkin buku putih yang lebih bersifat klarifikasi. Dua bentuk historiografi itu, baik yang kultural maupun yang politik  harus terus diupayakan untuk segera terwujud dan mewujud dalam ranah kesejarahan kita. Sekali lagi, sejarah adalah milik siapa yang menuliskannya, tafsirannya kemudian diserahkan kepada khalayak publik yang membacanya

Hal yang terakhir yang harus menjadi catatan bagi NU dalam menuliskan historiografi adalah soal cakupan sejarah atau fragmen sejarah NU yang akan dikisahkan kepada masyarakat. Pada akhir 2008, penulis mendapatkan nasehat dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa proses bersejarah NU tidak hanya terjadi di Jawa, tapi di berbagai belahan nusantara lainnya juga terdapat kisah sejarah NU yang belum banyak digali oleh para sejarawan. Tentu saja nasehat ini sangat penting sekali bagi NU, terutama bagi para sejarawan dan pemerhati NU selama ini menekuni sejarah NU, bahwa cakupan kisah sejarah NU harus benar-benar me-nusantara atau meng-Indonesia, atau bila perlu mendunia. NU tidak hanya Jawa, apa lagi bagian kecil darinya, seperti Jombang, Surabaya, Cirebon, Solo, dan lain-lain, tapi NU adalah Nusantara, NU adalah Indonesia. Historiografi dengan cakupan seperti itulah yang harus segera kita wujudkan.

Syariah Shalat Sunnah yang Tidak Disyariatkan (Ghairu Masyruah)

Pada dasarnya shalat sunnah (nawafil) sangat dianjurkan dalam Islam, karena sebagain ulama meng-qiyaskan shalat sunnah sebagai ‘suplemen’ bagi shalat wajib (maktubah) yang berlaku sebagai makanan pokok yang mengandung, vitamin, mineral serta zat-zat lain agar tetap sehat dan bugar.
Sebagain ulama mengkategorikan ragam shalat sunnah menjadi dua, yaitu  pertama Shalat sunnah yang mengiringi sholat fardu (shalat suannah Rawatib), terdiri dari Shalat Sunnah Qabliyah dan Shalat Sunnah Ba’diyah. Dan kedua, Shalat sunnah yang tidak mengiringi shalat fardhu yang muakkad (shalat sunnah muakkadah ) yaitu shalat tahajjud, shalat tahiyyatul masjid, shalat taubat, shalat lidaf’il bala’, shalat tasbih, shalat hajat, shalat tahjjud, shalat istikharah, shalat tarawih, shalat dhuha, shalat awwabin, shalat ba’ada akad nikah, shalat qudum, shalat sunnah muthlaq, shalat witir, dan masih banyak lainnya.
Namun sebagai agama yang membumi di Nusantara, Islam tidak bisa menampik pengaruh dari masyarakat pribumi yang memeluk Islam dengan karakter ke-indonesiaan yang warna-warni. Sehingga Islam di Nusantara sangat beragam sesuai dengan norma lokalitas yang berlaku. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada sisi muamalah tetapi juga sisi ubudiah. Terbukti dengan adanya berbagai jenis shalat sunnah yang bernuansa lokal seperti Shalat Sunnah Rebo Wekasan, Shalat Sunnah Nishfu Sya’ban, Shalat Sunnah Hadiah, Shalat Sunnah Birul Walidain dan lain sebagainya.
Mengenai hal ini perlu adanya pelurusan dan tabayyun, agar tidak menjadi sumber fitnah saling mem-bid’ahkan. Karena sesungguhnya berbagai macam shalat sunnah yang bernuansa lokal itu adalah shalat sunnah muakkadah yang dilakukan pada waktu tertentu.
Dengan demikian isitilah shalat rebo wekasan sebenarnya menunjuk pada shalat hajat atau shalat sunnah muthlaq, tetapi dilakukan pada malam rabu wekasan dengan memfokuskan do’a terhindar dari bala’.
Begitu juga dengan Shalat Nishfu Sya’ban, sesungguhnya yang terjadi adalah shalat sunnah hajat ataupun shalat sunnah muthlaq yang dilakukan pada malam paroh bulan sya’ban yang dilengkapi dengan do’a khusus memohon petunjuk kepada Allah swt. Dan begitu juga dengan shalat ssunnah hadiyah untuk mayit, yang sebenarnya merupakan shalat hajat yang memohonkan ampun atas dosa-dosa mayit yang baru dikubur.
Namun demikian sebagian ulama ahli hikmah atau ahli kasyf dengan keyakinan dan pengetahuan yang dimilikinya tetap menjadikan beberapa shalat sunnah yang bernuansa lokal itu sebagai bagain dari unsur ubudiyah dalam Islam.
Oleh karena itu, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari rahimahullah, mengelompokkan semua macam shalat sunnah (yang bernuansa lokal itu) itu ke kelompok shalat ghairu masyru’ah fis syar’i. yaitu shalat yang tidak dianjurkan oleh syari’at. wallahu a’lam.

10 Alasan Pentingnya Memperingati Maulid Nabi (4 Habis)

Alasan kedelapan adalah alasan yang bersifat sosiologis. Peringatan maulid nabi merupakan wasilah untuk melaksanakan berbagai macam kebaikan, apalagi tradisi masyarakat kita yang selalu melaksanakan bersama-sama.
Secara otomatis hal ini akan menambah syiar agama Islam itu sendiri sebagaimana dengan shalat Jum’ah. Dan lebih dari itu perkumpulan ini selalu menuntut berbagai macam kegiatan yang baik-baik. Sebut saja pengajian, majlis ta’lim, berdzikir, bersedekah dan yang pasti adalah membaca shalawat dan menutur cerita kehidupan Rasululllah saw. Seperti yang diperintahkan oleh Allah swt dalam Surat al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً 
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu sekalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. (Al-Ahzab: 56) 
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan makna ayat tersebut bahwa Allah swt menunjukkan kepada manusia derajat tingginya Rasulullah saw sehingga Allah swt membacakan shalawat kepadanya. Dan memerintahkan semua manusia dan juga para malaikat untuk bershalawat juga.
Perintah bershalawat kepada Rasulullah saw dan bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan Rasulullah saw memperbolehkannya. Demikian yang diceritakan oleh sebuah hadits sebagaimana disebut dalam shahih al-Bukhari yang diriwayatkan oleh Salmah bin al-Akwa’ “kami berperang bersama Rasulullah saw dalam perang Khaibar. Saat itu kami berangkat pada malam hari. Lalu ada seorang lelaki berkata kepada Amir bin Akwa’ “maukah kamu memperdengarkan kepada kami bait-bait syairmu?” Amir adalah seorang penyair. Lalu dia tinggal beberapa waktu dan bersyair:
Tidak kami maupun mereka akan mendapatkan petunjuk jika bukan karenamu
 Tidak juga kami akan bersedekah atau bersembahyang
Maka maafkanlah kami ketika membelamu
Dan tetapkanlah kaki kami ketika bertemu musuh
Berikanlah ketenangan atas kami
Sungguh jika kami diseur, kami akan datang

Alasan kesembilan adalah Surat Yunus ayat 58 yang berbunyi
قل بفضل الله وبرحمته وبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون
Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari pada apa yang merek kumpulkan. (Yunus: 58)
Apakah yang dimaksud dengan rahmat dalam ayat di atas? Apakah bentuk rahmat itu? Para mufassir berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun dalam ulumul qur’an diterangkan bahwa menafsirkan ayat dengan ayat al-Qur’an yang lain merupakan bentuk penafsiran yang paling kuat. Karenanya as-Suyuthi dalam ad-Durrul Mantsur menafsirkan kata rahmat dengan Surat al-Anbiya ayat 107:
وماأرسلناك إلا رحمة للعالمين
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (al-Anbiya: 107)
Sebagaimana dikutip dari Ibnu Abbas:
وأحرج أبو الشيخ عن ابن عباس فى الأية قال: فضل الله العلم ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم : قال الله (وما أرسلنك إلا رحمة للعالمين)   
Bahwa yang dimaksudkan dengan karunia Allah swt adalah ilmu dan rahmat-Nya adalah Nabi Muahammad saw. Allah swt telah berfirman (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam) (al-Anbiya: 107)
Maka menjadi jelas bahwa Rasulullah saw memang diciptakan oleh Allah sebagai rahmat bagi alam jagad raya. Maka kalimat selanjutnya dalam Surat Yunus di atas yang berbunyi ‘hendaklah mereka bergembira’ secara otomatis memerintahkan kepada umat muslim menyambit gembira atas rahmat tersebut. bukankah ini alasan yang sangat penting mengapa kita harus bergembira menyambut maulidurrasul?
Sedangkan alasan yang kesepuluh pentingnya memperingati maulidurrasul adalah tidak adanya hukum yang jelas-jelas melarangnya. Meskipun melaksanakan peringatan maulid juga bukanlah termasuk ibadah tauqifiyah. Namun peringatan ini seringkali menjadi wahana mendekatkan diri kepada Allah swt. yang sangat dianjurkan.
Oleh karena itu, jika kacamata syari’at mengategorikan berbagai macam praktek ibadah menjadi dua yaitu yang disenangi dan dibenci, maka memperingati hari maulid dapat dikategorikan sebagai ibadah yang disenangi syariat.
Demikianlah sepuluh alasan mengapa umat muslim perlu memperingati hari kelahiran Rasulullah saw yang dijabarkan oleh Omar Abdullah Kamel dalam kitabnya Kalimatun Hadi’atun fil Bid’ah, Kalimatun Hadi’atun fil Ihtifal bi Maulid, Kalimatun Hadi’atun fil Istighatsah.

Hikmah Kelahiran Nabi Anugerah Terbesar

Bulan Rabiul awal yang biasa disebut bulan maulid adalah bulan yang tidak pernah terlupakan oleh orang muslim, karena pada bulan ini seorang putra terbaik dari Bani Hasyim Bangsa Arab, sesosok pemuda teladan yang kemudian menjadi pemimpin terbesar dunia telah dilahirkan, tepatnya pada hari Senin tanggal 12 Rabiul awal, bertepatan dengan 20 April 571 M.
Muhammad, nama ini selalu dikenal seantero penjuru dunia. Dia telah berhasil merubah  wajah dunia menjadi bermakna, dari gelap menjadi terang, dari kebodohan menjadi berperadaban. Dialah seorang yang telah mengantarkan manusia kepada nilai kemanusiaannya yang tinggi, dialah yang telah mengembalikan manusia kepada keberadaan yang sebenarnya yaitu mulia dan sempurna sebagaimana pertama kali dimaksudkan.
Beberapa peristiwa luar biasa mengiringi kelahiran beliau, diantaranya adalah padamnya api pemujaan di Persi yang seribu tahun sebelumnya tak pernah padam sama sekali, hancurnya pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah yang hendak menghancurkan ka’bah. Mereka hancur ditimpa batu - batu panas  yang dibawa burung-burung ababil yang sengaja dikirim Allah untuk membatalkan niat busuk mereka, serta banyak lagi kejadian luar bisa lainnya. 
Kenyataan ini tentu saja membuat kita merasa berterima kasih dengan kedatangannya. Sebagaimana laiknya kita sebagai umatnya, memperingati hari dan bulan ini sebaik-baiknya dengan melihat dan membaca kembali sejarah perjalanan pribadi dan kepribadian beliau. Allah selalu membimbing, mengarahkan dan mengingatkan orang - orang yang menginginkan kehidupan Ahirat. Dalam konteks ini Allah menguraikan dalam Al Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 21:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” QS Al-Ahzab 21.
Dalam firman ini Allah menegaskan bahwa orang-orang yang menginginkan kehidupan Ahirat, maka hendaklah mereka meniru kepribadian Rasulullah saw. Menjadikan Rasulullah sebagai panutan dan suri tauladan, bukan kepada yang lain. Sebuah pengakuan jujur dari seorang penulis non Muslim telah dituangkan dalam buku seratus tokoh dunia tentang pribadi Nabi Muhammad Saw. Penulis buku ini telah menempatkan Nabi Muhammad Saw pada tingkat pertama disusul oleh tokoh-tokoh dunia lainnya.
Ini semua karena beliau Nabi Muhammad telah berhasil menghapuskan segala bentuk penindasan kepada masyarakat yang lemah, beliau menghapuskan sistim perbudakan yang jelas-jelas merendahkan martabat manusia, beliau tutup jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, beliau persatukan manusia yang semula bermusuhan dan menjadikan mereka bersaudara, beliau berhasil meletakkan landasan kemanusiaan, yaitu bahwa tidak ada perbedaan antara satu suku dengan lainnya, bangsa satu dengan bangsa lainnya, komunitas satu dengan komunitas lainnya apapun warna kulit dan keturunannya, tidak ada yang membedakan mereka kecuali takwanya kepada Allah, inilah nampaknya yang dimaksudkan
Allah SWT dalam firman-Nya :
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” QS Al-Anbiya 107.
Dengan ayat ini, jelaslah bahwa Nabi Muhammad Saw diutus ke dunia ini bukan hanya untuk satu golongan atau komunitas tertentu, melainkan untuk kesejahteraan manusia sedunia. Oleh karena itulah, beliau memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang luar biasa,  mempunyai sifat keberanian dalam membawa kebenaran.
Kelemahan umat Islam sekarang ini, diantaranya adalah, mereka telah melupakan pribadi dan sifat-sifat beliau. Mereka tidak lagi meneladani kepribadian beliau. Para pemimpin tidak lagi meniru gaya kepemimpinan Rasul yaitu pimpinan yang berani menegakkan kebenaran. Pedagang tidak lagi meniru praktek dagang yang pernah dilakukan Rasul. Orang tua tidak lagi mempraktekkan gaya Rasul. Guru tidak lagi mempraktekkan cara beliau mendidik generasi mudanya. Masyarakat telah melupakan panutan ini, sehingga ahirnya mereka menjadi masyarakat yang terombang ambing kehidupan dunia yang melenakan.
Semangat bulan maulid ini, yang selalu diperingati dengan pembacaan barzanji, pembacaan sholawat, pembacaan Marhaban serta lainnya  merupakan sebuah titik tolak ukur kita untuk bersama-sama  membaca kembali sejarah kepribadian Nabi dan menjadikannya sebagai satu-satunya panutan yang akan menghiasi lembar demi lembar kehidupan kita bersama. Jadi tidak salah bahwa kelahiran nabi yang telah dinanti-nantikan pada masa jahiliyah merupakan anugerah terbesar dari Allah SWT, sehingga sampai saat ini kita merayakannya dengan cara kita masing-masing. Kelak kita akan mendapatkan syafaat Nabi diakhir kelak. Amiiin.

Serukan Ranting Ansor Peringati Maulid Nabi


Probolinggo, NU Online
Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo menyerukan kepada semua pengurus jajaran ranting di wilayah kerja kecamatan untuk mengikuti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan mengisinya dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi warga nahdliyin.

“Agungkanlah peringatan hari kelahiran Baginda Rasulullah SAW ini dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini merupakan tradisi dari pendiri NU. Tradisi NU ini harus terus dipertahankan oleh pemuda Ansor. Oleh karenanya, pemuda itu harus banyak belajar dari orang yang lebih tua,” ujar Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Dringu Mahfud Hidayatullah kepada NU Online, Selasa (22/1).

Menurut Mahfud, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang ada di perkotaan saja tetapi juga dilakukan warga nahdliyin di pelosok-pelosok desa. Momentum bersejarah tersebut bahkan diperingati dengan sangat menarik. Masyarakat desa biasanya membawa makanan, kue dan buah-buahan yang kemudian dikumpulkan di musholla maupun masjid setempat.

“Biasanya setelah terkumpul semua, selanjutnya dilakukan pembacaan sholawat Nabi (srakalan) secara bersama-sama. Masyarakat di desa mempercayai pada saat pembacaan tersebut, ruh Nabi Muhammad SAW akan hadir untuk memberikan rahmat,” jelasnya.

Tidak berhenti sampai disitu saja, sebab setelah prosesi pembacaan sholawat Nabi Muhammad SAW selesai tandas Mahfud, barang bawaan tadi ditukar dengan barang bawaan tetangga sekitar untuk dimakan bersama-sama.

“Disitulah tercipta tali silaturahim antar sesama warga nahdliyin. Tanpa melihat status, mereka makan bersama-sama dalam satu wadah. Dan tradisi itu tidak bisa dihilangkan karena itu tradisi NU,” terangnya.

Untuk tahun ini, PAC GP Ansor Kecamatan Dringu berencana akan memberikan santunan kepada fakir miskin, anak yatim dan kaum dhuafa. Santunan tersebut akan diwujudkan dalam bentuk pakaian maupun makanan tergantung porsi kebutuhan dari masing-masing warga nahdliyin.

“Santunan ini diberikan sebagai bentuk kepedulian pemuda Ansor Kecamatan Dringu kepada warga yang sangat membutuhkan. Harapannya, santunan ini dapat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” tandasnya.

Ubudiyyah 10 Alasan Pentingnya Memperingati Maulid Nabi (3)

Alasan kelima adalah sebuah hadits yang dijadikan landasan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqashid fi ‘Amalil Maulid bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw mengakikahkan dirinya setelah menerima wahyu kenabian. Padahal telah diriwayatkan bahwa Abdul Muthallib sang paman Rasulullah itu telah mengakikahkannya pada hari ke tujuh setelah kelahirannya, sedangkan akikah tidak perlu diulang dua kali.
Oleh karena itu, menurut As-Suyuthi hadits ini memiliki makna lain bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw merupakan bentuk syukur kepada Allah swt yang telah menciptakannya sebagai rahmat bagi seluruh alam serta penghormatan untuk semua umatnya. Sebagaimana beliau bershalawat atas dirinya sendiri. Oleh sebab itu, kita juga disunnahkan untuk memperlihatkan rasa syukur atas kelahiran Rasulullah saw dengan berkumpul sesama saudara, kawan, member makan fakir miskin serta bentuk-bentuk peringatan lain yang menunjukkan kebahagiaan.
Alasan keenam adalah keterangan dari beberapa hadits yang mengistimewakan hari Jum’at sebagai hari kelahiran Nabi Adam as. hal ini bisa dijadikan qiyas (analogi) kemuliaan hari kelahiran Rasulullah saw. Dalam sunan at-Turmudzi hadits no. 491 Rasulullah saw menyatakan bahwa
خيريوم طلعت فيه الشمس يوم الجمعة فيه خلق أدم
Hari yang paling mulia adalah hari Jum’at, hari diciptakannya nabi Adam.
Begitu juga yang diriwayat an-Nasa’ai dan Abu Daud dengan sanad Sahih bahwa Rasulullah saw bersabda:
إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فيه خلق أدم وقبض وفيه النفخة وفيه الصعقة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي
Sesungguhnya hari yang paling mulia diantara hari-hari kalian adalah hari jum’at. Pada hari itulah Adam diciptakan, diwafatkan, ditiupkan ruh dan dibangkitkan. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku (kepada Rasulullah saw) pada hari itu. Sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku…
Sebenarnya objek kajian dalam dua hadits di atas tidak sekedar keisitmewaan hari Jum’at tetapi momentum yang termuat di dalamnya yaitu hari kelahiran, hari kewafatan dan hari kebangkitan Nabi Adam as sebagai bapak manusia.
Dengan kata lain, kemuliaan dan keagugan itu sama sekali tidak mengacu pada hari itu sendiri. Melainkan pada apa yang pernah terjadi pada hari itu. Dengan demikian, ia bisa diperingati berulang-ulang, baik setiap minggu, atau setiap tahun sebagai wujud rasa syukur kepada Allah ata nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.
Selaras dengan hal itu adalah alasan ketujuh yang mengambil pelajaran dari kisah para nabi (Nabi Yahya, Nabi Isa dan Maryam ) yang diceritakan dalam al-Qur’an dengan tujuan meneguhkan hati Rasulullah saw sebagai seorang rasul. Sebagaimana disebutkan dalam surat Hud ayat 120:
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu.
Artinya, kisah-kisah Nabi yang diceritakan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dalam al-Qur’an sebenarnya bertujuan untuk menguatkan hati Rasulullah saw. Maka kisah tentang kehidupan Rasulullah saw (sirah nabi) yang disebut-sebut dalam acara maulidurrasul berfungsi sebagai peneguh hati (kita) umatnya. Bukankah hal ini sebuah kebaikan dan perlu dilestarikan?

Sunday, 20 January 2013

Daftar ALUMNI PONPES "RINGIN AGUNG" Soloraya ( Semua Angkatan )

No
Nama
Alamat
Nomaor hp
1
Nur hadi
Newung sukodono
081 393 895 705
2
Dardiri
Jumeneng padas tanon
081 225 803 022 
3
Badrusholih
Juwok sukodono
081 226 22320
4
M.ansori
Boyolali
085 256 442 370
5
Syafrudin
Kecik tanon
085 331 087 978
6
M.tanwirul qulub
Tanon tanon
081 329 043 493
7
Ma’sum
Bonagung tanon
085 229 118 687
8
Purnomo
Kandang sapi jenar
085 293 300 440
9
Syamsul wakhid
Padas tanon
085 229 670 480
10
Ramelan
Taraman sido arjo
085 325 295 997
11
Mustamir
Ketro tanon
085 229 639 095
12
Musa
Suwatu tanon
085 647 279 662
13
Ahmat suyuthi
Sendangapak sukodono
085 735 152 240
14
M.syakirulloh
Plumbon
085 625 089 01
15
Sri suryanti
Dadapan tanon
085 229 670 480
16
Siti sholihatun
Kandang sapi jenar
085 229 771 704
17
Sri sugiyati
Kandang sapi jenar
085 327 583 711
18
Lia inayatul’f
Paingan plumbon
085 625 089 02
19
Abadiyah
Bonogung
085 228 803 845
20
Siti nur janah
Kandang sapi jenar
085 293 415 266
21
Sunarsih
Tanggan gesi
085 293 436 610
22
A.nugroho
Ketopeng sl
085 926 144 612
23
Nur salim
Ketopeng sl
085 865 519 326
24
Abdul wakhid
Tanggan gesi
085 293 436 610
25
Parsono agus waluyo
Doplang karangpandan
087 836 991 403
26
Hadi mahmud
Karanganyar
085 229 100 879
27
Roikhan
Getan susukan
085 219 257 355
28
Abdul aziz
Manyaran boyo lali
087 877 331 036
29
Eko mulyono
Ampel boyo lali
081 329 795 345
30
Eko riyanto
Sambung macan sragen
081 225 880 69
31
Tarmuji
Dayu karangpandan
081 329 158 777
32
Jamal
Padas tanon
082 172 527 551
33
Fajar tarnoto
Mateseh
081 329 249 180
34
Imam ghizali
Pangkol tanon
081 226 120 711
35
Sholikhin
Taraman sidoharjo
085 521 666 5944
36
Siti miftahul janah
Kandang sapi jenar
085 290 440 654