Berbicara tentang NU (Nahdlatul Ulama) kita akan membicarakan suatu
komunitas Islam tradisional yang turut berperan penting dalam menentukan
pemikiran dan gagasan tentang negara bangsa bernama Indonesia.
Secara historis, NU terlahir pada dekade 1920-an di Surabaya, salah satu kota pusat pergerakan nasional di Indonesia.
Dalam periode pergerakan nasional itu kita menemukan kisah bahwa KH
Wahab Chasbullah, sang penggagas NU, bergaul akrab dengan Cokroaminoto
bersama semua anak didiknya seperti Soekarno, Musso, Alimin,
Kartosuwirjo, dan lain-lainya yang tengah menempuh pendidikan tingkat
menengah di Surabaya.
Banyak karya indonesianis yang telah
mengungkap peranan NU dalam berbagai periode sejarah Indonesia, meski
masih banyak pula peranan NU yang belum terungkap di dalamnya.
Sebagimana dituliskan Henk Schulte Nordholt dkk (2008) bahwa jika kita
mengakui bahwa sejarah tentang apa yang terjadi dan sejarah tentang apa
yang dikatakan telah terjadi adalah dua dimensi dari penulisan sejarah,
maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan tentang sejuh mana
terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu belum selesai.
Menurut Nordholt ada dua faktor utama yang telah membentuk situasi
tersebut; pertama, pembentukan pengetahuan sejarah (historical
knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya
institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi
pengetahuan tentang masa lalu; kedua, tantangan terhadap narasi besar
(grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan
bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.
Demikian halnya dengan
historiografi NU --sebagai derivasi dari historiografi Indonesia--
selama ini harus menghadapai dua faktor tersebut di atas. Berbagai
historigrafi nasional yang selama ini menempatkan NU dalam posisi yang
tidak tepat dan seolah-olah peranan NU dinihilkan adalah produk
historiografi dari sumber-sumber daya yang dikuasai oleh Negara dan
kekuasaan politik tertentu yang tidak melibatkan NU sebagai pelaku
sejarah. Selain itu, narasi besar sejarah Indonesia dalam
periode-periode penting yang telah dihasilkan oleh indonesianis seperti
George Mc Turnan Kahin, Herbert Feith, Lance Kastle, JD Legge, telah
menempatkan NU sebagai komunitas yang kurang mempunyai peranan dalam
sejarah, sebagai variable negative dalam sejarah, digambarkan sebagai
kelompok puritan yang tidak terdidik, para pemimpinnya berwawasan jumud
berbasis massa tapi tidak mempunyai pemikiran politik yang orisinil, dan
berbagai label lainnya yang cukup merugikan NU sebagai sebuah
komunitas.
Akhir-akhir ini, narasi besar semacam itu, terutama
yang terkait dengan apa yang terjadi atau apa yang dikatakan telah
terjadi pasca peristiwa September 1965 kembali meletakkan NU pada posisi
yang sangat merugikan bagi NU. Dalam suatu opininya majalah Tempo
(Edisi 1-7 Oktober 2012) menuliskan “NU adalah organisasi yang aktif
berperan membersihkan PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur”, suatu
pernyataan yang sudah pasti menyudutkan NU dalam suatu titik sejarah
kelam bangsa Indonesia. Dalam redaksi semacam itu orang akan mudah
berkesimpulan bahwa NU adalah satu-satunya pelaku aktif dalam peristiwa
itu, dan seolah-olah pula peristiwa itu adalah suatu peristiwa yang
berdiri tunggal, terpisah dari peristiwa lainnya yang mendahuluinya atau
menyudahinya. Tapi demikianlah sejarah adalah milik siapa yang
menuliskannya, tafsirannya kemudian diserahkan kepada khalayak publik
yang membacanya.
***
Dalam menyikapi itu, baiknya NU harus mengingatkan kepada
semua komponen bangsa ini, baik pemerintah, akademisi, aktivis HAM,
media massa, dan semua organisasi masyarakat yang ada, bahwa suatu
narasi sejarah tidaklah hanya suatu urutan (sequence) yang disusun oleh
para sejarawan atau bahkan oleh para awak jurnalis suatu media, yang
lalu dapat dikisahkan secara naratif tanpa melihat kausalitas dan
penjelasan sejarah yang diharapkan dapat menjernihkan suatu peristiwa
dengan sebaik-baiknya. Pada saat ini bangsa Indonesia --termasuk NU--
membutuhkan suatu narasi sejarah yang dibentuk melalui suatu
penafisiran, pemahaman, dan pengertian yang dapat menjelaskan adanya
suatu relativisme dalam penjelasan sejarah. Sejarah adalah suatu ilmu
yang merekonstruksi suatu peristiwa masa lampau dengan manusia sebagai
subyek pelaku dan obyeknya sekaligus. Sejarah bukanlah disiplin ilmu
sebagaimana ilmu alam atau ilmu eksakta yang menerangkan sesuatu serba
ajeg dan terukur sehingga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ilmiah.
Dalam sejarah selalu ada unsur manusia yang unik dan partikular di dalam
berbagai lintasan peristiwa lampau, sehingga objektifitas studi sejarah
akan berbeda dengan objektifitas studi ilmu alam atau ilmu eksakta
misalnya.
Dengan pemahaman sejarah yang sedemikian rupa, NU
harus segera menyusun suatu historigrafi yang mampu menjawab atau
memaparkan berbagai peristiwa sejarah dalam suatu perspektif yang
berbeda dari apa yang selama ini dinarasikan dalam historiografi
nasional, historiografi kelompok tertentu, atau opini jurnalistik yang
disebarkan kepada kalangan luas di luar NU. Suatu historiografi yang
dianggap objektif harus mendapatkan kritik dan perbandingan dari
historiografi lainnya yang juga mempunyai potensi objektifitas yang
sama. NU berhak untuk melakukan hal itu, menandingi berbagai sumber daya
pembentuk narasi sejarah yang meletakkan NU pada posisi yang tidak
menguntungkan bagi masa depan NU.
Sebaiknya yang dilakukan NU
bukanlah sekedar pembelaan, tapi lebih utama lagi NU harus mengembalikan
diskursus peristiwa pasca September 1965 sebagai ranah studi sejarah
yang terbuka untuk terus dikaji, ditafsirkan, dan dituliskan dengan
berbagai kemungkinan fakta sejarah yang tidak datang dari satu dimensi
saja. Kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab atas keabsahan fakta
apa yang nantinya diungkapkan harus benar-benar menjadi pedoman utama
dalam penulisan sejarah NU. Pedoman semacam ini juga berlaku dalam
menuliskan peran sejarah NU dalam berbagai masa dan peristiwa lainnya
yang terjadi di Indonesia.
***
Lalu apa modal yang telah
tersedia untuk menyusun historiografi NU? Antara lain di Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI) terdapat beberapa rol mikro film tentang
arsip-arsip organisasi NU yang sangat berharga dan jarang dijamah oleh
para peneliti sejarah. Paling tidak sebagai langkah awal NU harus segera
menyusun suatu summary untuk berbagai arsip tersebut, memilah-milah
diantara informasi kronologis, informasi kebijakan, dan produk pemikiran
yang lahir dalam organisasi NU.
Selanjutnya di arsip Pusjarah
TNI (Museum Satria Mandala) juga terdapat koleksi koran NU, yaitu Duta
Masyarakat pada awal 1950an yang lebih lengkap daripada koleksi yang ada
pada Perpustakaan Nasional. Dalam koran-koran itu terserak berbagai
pemikiran tokoh-tokoh NU yang selama ini dianggap dan dinarasikan oleh
para Indonesianis bahwa tokoh-tokoh NU itu jarang menulis dan hanya
sedikit saja mempunyai produk pemikiran yang berarti. Padahal, jika kita
telusuri berbagai bulletin atau selebaran Masyumi sejak periode pra
kemerdekaan hingga berbagai kolom Duta Masyarakat yang beredar pada
periode Orde Lama, tokoh-tokoh NU seperti Wahid Hasyim, Saifuddin Zuhri,
dan A.A Achsien adalah para aktivis pergerakan yang aktif menuangkan
pemikiran mereka dalam tulisan. Demikian halnya pada periode setelah
Orde Lama, Mahbub Junaidi, Said Budairy, dan tentu saja Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) adalah tokoh-tokoh NU yang piawai dalam mengolah
pemikirannya dalam suatu tulisan tersiar.
Diluar data-data itu,
berbagai arsip organisasi juga dapat kita himpun dari berbagai pelaku
sejarah NU yang gemar menyimpan arsip-arsip NU sebagai koleksi pribadi
atau koleksi keluarga. Mereka kebanyakan menganggap bahwa arsip-arsip NU
itu bersifat sakral dan warisan orang tua yang harus dijaga sehingga
mereka tak mudah untuk merelakannya kepada orang lain kecuali
benar-benar percaya bahwa warisan itu akan terawat dengan baik. Idealnya
arsip-arsip itu dihimpun dan disimpan oleh bagian Arsip PBNU atau
paling tidak copy arsip tersebut baik dalam bentuk fisik maupun digital
tersimpan di PBNU. Melalui cara itu usaha memetakan dan membuat summary
arsip-arsip NU tersebut dapat dilakukan dengan baik. Dengan begitu
arsip-arsip itu akan segera memberikan manfaat kepada kita, yaitu
informasi sejarah yang berharga dan tidak hanya tersimpan sebagai
lembaran kertas usang yang tak bermanfaat.
Selain melakukan
usaha penelusuran berbagai sumber sejarah yang telah ada, NU sebagai
organisasi modern juga harus mulai melakukan sistem pendokumentasian
aktivitas organisasi secara teratur, dan menata sistem kearsipan dan
pustaka NU dengan lebih sistematis. Dari mulai saat ini, yang juga
mendesak untuk dilakukan adalah usaha pendokumentasian secara audio dan
visual kisah kisah para pelaku sejarah NU dalam setiap lapisan
masyarakat. Dari mulai kyai, sebagai pemimpin NU, jamiyyah NU yang setia
menjadi santri para kyai kyai itu, hingga para anggota Banser yang
selalu siap sedia di garis depan membantu hampir semua aktivitas NU,
sebaiknya tak luput dari usaha pendokumentasian. Pendokumentasian ini
harus segera dilakukan dan secara simultan dilakukan analisa berupa cek
silang narasumber untuk suatu masalah tertentu yang kebetulan saling
terkait satu sama lain. Meskipun tingkat subjektifitas dokumentasi
semacam ini relatif tinggi, tapi sebagai upaya untuk membangun suatu
objektifitas sejarah pada level yang lebih besar lagi, di luar NU,
dokumentasi itu sangat dibutuhkan.
***
Dengan berbagai
modal sumber sejarah yang telah ada maupun yang sedang diadakan itu,
usaha untuk mewujudkan suatu historiografi NU adalah suatu keniscayaa.
Bahkan, hingga saat ini NU adalah satu-satunya organisasi masyarakat
Islam yang telah memiliki museum (Museum NU, Gayungsari, Surabaya).
Meski harus terus ditingkatkan sistem penataan tata pamernya, Museum NU
di Surabaya adalah bukti bahwa kesadaran bersejarah telah terpupuk dalam
diri warga NU. Museum itu adalah bentuk lain dari sebuah historiografi
yang seharusnya tertulis dan terekam dalam bentuk narasi tekstual. Dan
dari museum NU itulah antara lain dapat kita sadari bahwa sesungguhnya
banyak benda-benda bersejarah milik NU yang dapat dikembangkan menjadi
sebuah kisah sejarah, lalu jika dituliskan sesuai dengan metode sejarah
yang baik, sudah tentu akan menjadi sebuah karya historiografi.
Sesederhana
apa bentuknya, menurut hemat saya, kisah sejarah yang telah tertulis
dan terekam adalah bagian dari historiografi. Misalnya saja, sejak
beberapa tahun yang lalu NU Online mempunyai rubrik fragmen sejarah
--yang dituliskan oleh para awak media online NU – juga dapat dianggap
sebagai historiografi NU. Penggalan kisah kisah kecil (petite histoire)
dalam fragmen itu bila disusun secara sistematis dan tersampaikan dalam
bentuk teks yang lebih menjangkau masyarakat NU secara luas --terutama
generasi muda-- akan dapat menjadi media historiografi NU yang sangat
efektif dan lebih bersifat kultural. Meskipun secara politis, dalam,
konteks NU sebagai organisasi masyarakat yang juga bermain dalam ranah
perebutan ruang kekuasaan negara atau apapun namanya, juga sah-sah saja
mempunyai suatu buku babon sejarah NU yang lebih bersifat propaganda
atau mungkin buku putih yang lebih bersifat klarifikasi. Dua bentuk
historiografi itu, baik yang kultural maupun yang politik harus terus
diupayakan untuk segera terwujud dan mewujud dalam ranah kesejarahan
kita. Sekali lagi, sejarah adalah milik siapa yang menuliskannya,
tafsirannya kemudian diserahkan kepada khalayak publik yang membacanya
Hal
yang terakhir yang harus menjadi catatan bagi NU dalam menuliskan
historiografi adalah soal cakupan sejarah atau fragmen sejarah NU yang
akan dikisahkan kepada masyarakat. Pada akhir 2008, penulis mendapatkan
nasehat dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa proses bersejarah NU
tidak hanya terjadi di Jawa, tapi di berbagai belahan nusantara lainnya
juga terdapat kisah sejarah NU yang belum banyak digali oleh para
sejarawan. Tentu saja nasehat ini sangat penting sekali bagi NU,
terutama bagi para sejarawan dan pemerhati NU selama ini menekuni
sejarah NU, bahwa cakupan kisah sejarah NU harus benar-benar
me-nusantara atau meng-Indonesia, atau bila perlu mendunia. NU tidak
hanya Jawa, apa lagi bagian kecil darinya, seperti Jombang, Surabaya,
Cirebon, Solo, dan lain-lain, tapi NU adalah Nusantara, NU adalah
Indonesia. Historiografi dengan cakupan seperti itulah yang harus segera
kita wujudkan.
Monday, 21 January 2013
NU, Historiografi, dan Peristiwa Pasca September 1965
21:32
No comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)









0 comments:
Post a Comment