DAPATKAN! Buku Pitutur Luhur (Rp.5.000) dan CD MP3 Pitutur Luhur oleh Ustadz Parsono Agus Waluyo ( Karangpandan, Solo - Indonesia

Tuesday, 18 February 2014

Fasal tentang Doa Qunut

Doa qunut ada tiga macam. Pertama, doa Qunut Nazilah, yaitu doa yang dibacakan setelah ruku’ (i’tidal) pada rakaat terakhir shalat. Hukumnya sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Qunut Nazilah dilaksanakan karena ada peristiwa (mushibah) yang menimpa, seperti bencana alam, flu burung dan lainnya.

Qunut Nazilah ini mencontoh Rasulullah SAW Yang memanjatkan doa Qunut Nazilah selama satu bulan atas mushibah terbunuhnya qurra’ (para sahabat Nabi SAW yang hafal al Qur’an) di sumur Ma’unah. Juga diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. bahwa “Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori dan Ahmad).

Kedua, qunut shalat witir. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan dirakaat yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah. Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’. Menurut Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.

Ketiga, doa qunut pada raka’at kedua shalat Shubuh. Menurut pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad doa qunut shalat Shubuh hukumnya tidak disunnahkan karena hadits Nabi SAW bahwa ia pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaiman diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

رَوَى ابنُ مَسْعُوْدٍ: أَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَنَتَ فِيْ صَلاَةِ الفَجْرِ شَهْراً ثُمَّ تَرَكَهُ

Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Menurut pengikut Imam Malik (Malikiyyah) doa qunut shalat Shubuh hukumnya sunnah tetapi disyaratkan pelan saja (sirr). Begitu juga menurut Syafi’iyyah hukumnya sunnah ab’adl (kalau lupa tertinggal disunatkan sujud sahwi) dilakukan pada raka’at yang kedua shalat Shubuh. Sebab Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) pada rakaat kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu “Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat)”. (HR. Ahmad dan Abd Raziq) Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu’nya:

مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ القَُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ أَمْ لَمْ تَنْزِلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ

Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulma’ salaf”. (al-Majmu’, juz 1 : 504)

Penulis berpendapat tentang bagaimana dua hadits tentang doa qunut pada shalat Shubuh yang tampa’ tidak sejalan. Cara kompromi untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu al-jam’i wa al-taufiiq) dapat diuraikan, bahwa hadits Abu Mas’ud (dalil pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa qunut shalat Shubut dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan Syafi’iyyah) menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat Shubuh dan terus melakukannya sampai beliau wafat.

Kesimpulannya, ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits, maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum doa qunut pada shalat Shubuh adalah sunnah ab’adl, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam. Wallahu a’lam bi -shawab.

HM Cholil Nafis, MA
tetang...
Polling
Space Iklan
305 x 100 Pixel
305 x 120 Pixel

Mengusap Wajah Setelah Do'a Qunut

Doa qunut adalah doa yang dilakukan pada saat berdiri tegak dari ruku’, hukum doa qunut sendiri adalah sunnah karena bukan termasuk salah satu syarat maupun rukun shalat. Doa qunut dilakukan pada saat shalat subuh, shalat witir di bulan Ramadlan pertengahan akhir, pada saat ada bencana atau yang dikenal dengan istilah qunut nazilah.Tidak ada doa khusus untuk doa qunut, hanya saja doa yang sering kita dengar adalah doa yang berbunyi اللهم اهدني..... walaupun sebagian ulama’ memperbolehkan doa qunut dengan doa selain tersebut di atas.
Lalu terkadang kita temui sebagian orang yang mengusap wajah setelah selesai membaca doa qunut, entah pada saat shalat berjama’ah ataupun shalat munfarid (sendiri), sebenarnya tidak ada larangan mengusap wajah tersebut, akan tetapi lebih baik tidak mengusap kewajah karena sunnahnya adalah tidak mengusapkan tangan kewajah setelah selesai membaca doa qunut. Imam Abu Bakar Al-Husaini Asy-Syafi’I dalam kitabnya Kifayatul Akhyar menyinggung masalah tersebut diatas,
وَالسّنة أَن يرفع يَدَيْهِ وَلَا يمسح وَجهه لِأَنَّهُ لم يثبت
Doa qunut yang disunnahkan adalah dengan mengangkat kedua tangan dan tidak mengusapkan kedua tangan kewajah setelah selesai berdoa.
Bahkan ada sebagian ulama’ yang menganggap makruh hukumnya mengusapkan kedua tangan setelah selesai berdoa, karena tidak ada ketentuan dari sunnah. Sebagaimana kelanjutan dari kitab diatas,
وَلَا يسْتَحبّ مسح الصَّدْر بِلَا خلاف بل نَص جمَاعَة على كَرَاهَته
Dan ulama’ sepakat tidak disunnahlan mengusapkan tangan ke dada, bahkan dari sebagian golongan ada yang menghukumi makruh.
Maka untuk mendapatkan kesunahan qunut adalah mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati oleh para ulama’ fiqih, dan memilih doa yang mudah dilafalkan dan dihafal. (Pen. Fuad H/ Red. Ulil H)

Anjing dan Sihir sebagai Penjaga


Ubudiyah 
Anjing dan Sihir sebagai Penjaga
Sabtu, 15/02/2014 06:00
Setiap individu berhak mentasarufkan harta benda dan kekayaannya sesuai keinginannya, asal tidak melupakan kewajibannya berzakat, bersedekah dan infak. Karena setiap harta benda yang dimiliki terdapat hak orang lain di dalamnya.
Kekayaan dan harta benda yang dimiliki seseorang haruslah dijaga dan dirawat serta digunakan demi kemaslahatan dan kebaikan. Tidak diperbolehkan menggunakannya untuk kejahatan dan kerusakan apalagi sampai membahayakan kehidupan orang lain.
Demikianlah keterangan dalam Kitab Fatawa Isma’il Zain bahwa,
إن حماية البستان بالسحر لا تجوز قطعا لحرمة استعمال السحر مطلقا، وأما حمايته بالدعاء أو الكلب فذلك جائز
Menjaga kebun dengan sihir tidak diperbolehkan karena menggunakan sihir secara mutlaq hukumnya adalah haram. Sedangkan menjaganya dengan doa-doa atau dengan anjing yang terlatih maka hukumnya boleh.
Secara tekstual pelarangan penggunaan sihir untuk keamanan adalah hal yang dilarang oleh agama, karena hal itu bertentangan dengan aqidah dan membahayakan orang lain yang terkena dampak dari sihir tersebut. Begitu juga dilarang memagari rumah dengan aliran listrik yang mematikan. Sungguhpun hal itu tidak bertentangan dengan aqidah tetapi sangat membahayakan orang lain.
Oleh karena itulah Islam mengajarkan berbagai doa yang berguna untuk ‘mengamankan’ harta benda, kekayaan dan segala milik agar terhindar dari kejahatan orang lain. Andaikan diperlukan, maka menggunakan jasa hewan seperti anjing yang telah terlatih sebagai penjaga, hukumnya boleh-boleh saja. Dengan catatan anjing tersebut tidak meresahkan orang lain dan warga sekitar. (Pen. Fuad H/Red. Ulil H)

GP Ansor Temanggung Latih Kader Tanggulangi Bencana

Temanggung, NU Online
Satuan Koordinator Cabang Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menggelar pelatihan kader yang difokuskan untuk penanganan bencana, awal pekan ini (17/2), di Desa Kerokan, Kecamatan Tlogomulyo, Temanggung.

“Kami harus aktif mengambil peran untuk penanganan agar keberadaan kami bermanfaat bagi masyarakat,” kata Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Temanggung Yami Blumut.

Yami mengatakan, fungsi penting Banser antara lain melakukan fungsi sosial dengan mendarmabaktikan kemampuannya untuk kepentingan masyarakat. Salah satunya dilakukan dengan aktif melakukan kegiatan kemanusiaan. “Kader kami siap untuk diterjunkan menangani bencana,” terangnya.

Selain menolak ratifikasi konvensi pengendalian tembakau (FCTC), GP Ansor Temanggung juga mengaku sedang terus memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup, khususnya dengan menolak penggalian pasir di seluruh wilayah Temanggung. “Termasuk langkah pencegahan kami lakukan,” ujar pria yang anggota KPU Temanggung ini.

Menurut Yami, sudah sepatutnya pemuda NU terlibat dalam seluruh proses pembangunan dan dan penyelesaian permasalahan hidup di masyarakat. “Bukan untuk meresahkan mereka, tetapi untuk melindungi mereka, karena kita adalah bagian dari mereka,” imbuhnya.

Keprihatinan terhadap bencana yang secara beruntun terjadi di Temanggung juga dimiliki ormas atau komunitas lain. Di samping mengumpulkan donasi, mereka juga menerjunkan para relawan yang mereka miliki.

Sekretaris Gusdurian Kabupaten Temanggung Rozakul Yazid menambahkan, penanggulangan bencana telah dilakukan kelompok ini dengan melakukan aksi penggalangan dana untuk korban Gunung Kelud dan pembersihan abu di sekitar kawasan umum. “Kami masih pemula, tetapi kami memiliki tekad yang kuat untuk membantu sesama,” katanya.

Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Temanggung, Edi Sumiharto mengatakan, kelompoknya telah melatih secara khusus para anggota untuk penanganan bencana. Dalam beberapa kejadian terakhir, organisasi sayap Muhammadiyah ini telah mengirimkan relawannya untuk penanggulangan bencana. (Zahrotien/Mahbib)
Komentar(0 komentar)




Galeri


Polling
Space Iklan
305 x 100 Pixel



PBNU Gelar Tasyakuran Harlah ke-88, Jum’at Malam

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan menggelar tasyakuran peringatan hari lahir atau Harlah ke-88 NU pada Jum’at (31/1) malam di aula utama kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat. Sejumlah keluarga pendiri dan tokoh NU dijadwalkan hadir.

Selain pembacaan tahlil dan doa bersama untuk para kiai NU, tasyakuran harlah kali ini akan diisi dengan penyampaian testimoni oleh perwakilan keluarga tokoh NU, antara lain, keluarga KH Hasyim As’ary, KH Wahab Chasbullah, dan keluarga KH Idham Chalid.

Sekretaris Panitia Peringatan Harlah ke-88 NU, H Mustholihin Majid mengatakan, panitia juga mengundang para keluarga tokoh NU yang lain untuk hadir dalam acara tasyakuran kali ini, antara lain, keluarga KH Ma’shum Lasem, KH Zainul Arifin, KH Saifuddin Zuhri, KH Djamaluddin Malik, H. Mahbub Djunaidi, Asrul sani, dan keluarga Usmar Ismail.

Sejumlah tokoh, pejabat, dan politisi dari lingkungan NU juga akan hadir, antara lain, Jusuf Kalla, Hamzah Haz, Chalid Mawardi, Muhaimin Iskandar, Helmi Faishal Zaini, Lukman Hakim Saifuddin, dan Marzuki Ali.

Tema Harlah kali ini adalah “Setia Menjaga NKRI”. Menurut Mustholihin, tema ini dipilih oleh PBNU untuk menegaskan sikap NU terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama yang dipicu oleh berkembangnya paham liberalisme di bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam.

“Bagi NU, NKRI adalah harga mati. Jangan sampai ada wilayah NKRI yang lepas seperti Timor Timur dulu. Ini adalah semacam warning dari NU,” kata Mustholihin yang juga Ketua Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU). (A. Khoirul Anam)

Sumber :  http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,49795-lang,id-c,nasional-t,PBNU+Gelar+Tasyakuran+Harlah+ke+88++Jum%E2%80%99at+Malam-.phpx

Perokonomian NU Harus Kuat

Grobogan, NU Online
Setiap organisasi tidak akan kuat tanpa didorong dengan perekonomian yang kokoh. Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam harus mampu memperkokoh warganya terutama di bidang ekonomi supaya tidak mudah terbelok pada arus zaman yang menghalalkan segala cara.

Demikian disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Jawa Tengah, Ir H Ady Setiawan pada acara halaqah kebangsaan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Grobogan di Gedung PCNU Grobogan Jl. Slamet Riyadi No 14 Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, Sabtu (15/2).

Dikatakannya, tujuan ekonomi Islam Aswaja adalah untuk membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan akhirat.

“Sebab itu, NU harus mampu meningkatkan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah dalam koredor statuna NU 1926 dengan mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang sesuai dengan syariat islam” imbuhnya.

Ady mengatakan banyak program yang telah dicanangkan LPNU yakni terkait Infrastuktur Aswaja dan Lumbung Pangan Aswaja. (Asnawi Lathif/Mahbib)

Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,50230-lang,id-c,nasional-t,Perokonomian+NU+Harus+Kuat-.phpx

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.
Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.
Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.
Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:
“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”
Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,45381-lang,id-c,hikmah-t,Syekh+Abdul+Qadir+Al+Jailani+saat+Umat+Saling+Mengkafirkan-.phpx

Perabot Rumah dan Kesederhanaan Rasulullah

Di sebelah timur masjid Nabawi Madinah, tampak sebuah bangunan yang akan membuat kita takjub, terpesona karena kesederhanaannya . Itulah tempat tinggal Rasul Agung Muhammad SAW. Rumah itu sangat kecil dengan hamparan tikar usang dan nyaris tanpa perabot.

Zaid bin Tsabit bertutur, “Anas bin Malik pelayan Rasulullah pernah memperlihatkan kepadaku tempat minum Rasulullah yang terbuat dari kayu yang keras dan di patri dengan besi. Kemudian Anas berkata kepadaku, ‘Wahai Tsabit, inilah tempat minum Rasulullah. Dengan gelas kayu inilah Rasulullah minum air, perasan kurma, madu dan susu.’” (HR Tirmidzi).

Benda lain yang dimiliki Rasulullah adalah baju besi yang biasa dipakai saat berperang. Tetapi tak lama setelah beliau wafat baju besi itu digadaikan kepada seorang Yahudi dengan beberapa karung gandum, seperti yang pernah diriwayatkan Aisyah.

Soal tempat tidur Rasulullah SAW, Ummul Mu’minin, Aisyah RA menggambarkan bahwa suaminya itu tidak tidur di tempat yang mewah. “Sesungguhnya hamparan tempat tidur Rasulullah SAW terdiri atas kulit binatang, sedang isinya adalah sabut korma.” (HR At-Tirmidzi)

Hafshah saat ditanya, “Apa yang menjadi tempat tidur Rasulullah SAW?” Ia menjawab, “Kain dari bulu yang kami lipat dua. Di atas itulah  Rasulullah SAW tidur. Pernah suatu malam aku berkata (dalam hati): sekiranya kain itu aku lipat menjadi empat lapis, tentu akan lebih empuk baginya. Maka kain itu kulipat empat lapis.”

Manakala waktu subuh, cerita Hafsah, Rasulullah SAW mengatakan, “Apa yang engkau hamparkan sebagai tempat tidurku semalam?” Aku menjawab, itu adalah alas tidur yang biasanya Nabi pakai, hanya saja aku lipat empat. Aku kira akan lebih empuk.” Rasulullah SAW membalas, “Kembalikan kepada asalnya! Sungguh, disebabkan empuknya, aku terhalang dari shalat di malam hari.” (HR At-Tirmidzi).

Cerita tentang tempat tidur Rasulullah SAW juga pernah menyembabkan Umar bin Khatab menangis. Padahal, Umar bin Khatab terkenal sebagai pemuda yang gagah perkasa sehingga disegani banyak orang baik dari kalangan  lawan maupun kawan.

Bahkan konon, dalam satu riwayat, Nabi menyebutkan kalau setan pun segan dan takut dengan Umar. Kalau Umar sedang lewat di suatu jalan, setan pun menghindar dari jalan yang dilaluinya dan memilih  lewat jalan yang lain.

Terlepas dari kebenaran riwayat terakhir ini, yang jelas keperkasaan Umar sudah menjadi buah bibir di kalangan umat Islam. Karena itu, fenomena Umar menangis menjadi peristiwa yang sangat mengherankan.

Mengapa "Singa Padang Pasir" ini sampai menangis? Umar pernah meminta izin menemui Rasulullah SAW. Umar mendapati Rasulullah sedang berbaring di atas tikar yang sangat kasar. Sebagian tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantalkan pelepah kurma yang keras.
“Aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup menahan tangisku,” ujar Umar bin Khattab

Rasulullah yang mulia pun sampai bertanya kepada Umar, "Mengapa Engkau menangis, wahai Umar?"

“Bagaimana aku tidak menangis, wahai Rasulullah. Tikar ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau, padahal Engkau ini Nabi Allah dan kekasih-Nya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan Kisra dan Kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera".

Lalu Nabi SAW berkata, "Mereka telah menyegerakan kesenangannya sekarang juga; sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang bepergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak di bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya," ujar Rasul SAW

Baginda Nabi Muhammad SAW. hidup dengan sangat zuhud. Seperti dituturkan oleh Aisyah, betapa Rasulullah hanya mempunyai dua baju, tidur di atas daun pelepah kurma, perutnya selalu lapar, bahkan pernah diganjal dengan batu, dan sangat sedikit tidur.

Rasulullah juga mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya, menambal baju sendiri, dan memerah kambingnya sendiri. Seperti itulah pekerjaan keseharian Rasululah, selalu memenuhi kebutuhan pribadinya secara mandiri, tanpa membebani keluarga atau orang lain. Jika beliau mau tentulah sangat mudah menggantikan pekerjaan itu kepada orang lain, karena beliau adalah kepala rumah tangga sekaligus kepala negeri Arab pada saat itu.

Hanya sesibuk apapun beliau ketika Bilal sudah mengumandangkan adzan, beliau bergegas ke masjid dan menjadi imam. Selama hidupnya belum pernah beliau meninggalkan jamaah di masjid kecuali hari dimana beliau dipanggil menghadap Allah SWT. karena sakit

Bandingkan dengan umat sekarang. Bajunya paling sedikit dua lemari. Dengan berbagai model. Jasnya bertumpuk-tumpuk. Sepatunya berderet-deret semuanya branded. Tidurnya diatas kasur yang import harganya puluhan juta. Bagaimana bisa melaksanakan shalat malam?

Umat sekarang jauh dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW. Perutnya buncit-buncit. segala jenis makanan dimasukkan ke dalam perutnya. Halal dan haram menjadi satu.

Rumah Rasulullah tampak begitu sederhan, etapi mengapa kita malah ingin memiliki rumah mewah dan harta yang berlimpah ruah untuk berfoya foya?

Sungguh  indah nian perumpamaan Nabi SAW akan hubungan beliau dengan dunia ini. Dunia ini hanyalah tempat pemberhentian sementara, hanyalah tempat berteduh sejenak, untuk kemudian kita meneruskan perjalanan yang sesungguhnya. Semoga ini bisamenjadi cerminan buat kita semua. (Amrullah Rz/Red: Mahbib)

Sumber :http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,47040-lang,id-c,hikmah-t,Perabot+Rumah+dan+Kesederhanaan+Rasulullah-.phpx

Nasihat Umar, Jangan Ceritakan Masa Lalu Putrimu

Diriwayatkan, seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab. Ia menceritakan pengalaman hidupnya. ”Seorang puteri saya di zaman jahiliyah saya dikubur hidup-hidup,” katanya.
“Namun aku sempat mengeluarkannya kembali sebelum dia meninggal dunia. Hingga puteriku ini masih mendapatkan masa Islam dan telah memeluk Islam.”
Belum ada yang istimewa dari ceritanya. Kemudian ia melanjutkan, ”Ketika puteriku memeluk Islam sebagai seorang Muslimah, dia terkena salah satu hukuman had karena berzina, hingga puteriku kemudian mencoba bunuh diri dengan melukai nadinya. Lalu aku menemukannya, sementara dia sudah memotong sebagian nadi lehernya.”
Beberapa sahabat lain yang turut mendengar ceritanya tercengang. Lalu lelaki ini melanjutkan kisahnya, ”Maka lantas kuobati puteriku sampai sembuh. Kemudian dia pun bertaubat dengan baik. setelah itu, dia minta dicarikan jodoh.”
Pun hingga ia berkata demikian, belum jelas apa sebenarnya maksud kedatangannya menemui Khalifah Umar bin Khattab, hingga ia pun berkata, ”Wahai Amirul Mukminin! Apakah aku harus memberitahu calonnya tentang keadaan puteriku pada masa lalu?” Rupanya inilah maksud kedatangannya menemui sahabat Umar dari awal.
Mendengar pertanyaan ini Umar lantas menjawab dengan keras, ”Apakah kamu ingin menyingkapkan apa yang telah ditutupi oleh Allah? Demi Allah, jika kamu memberitahukan tentang kisah hidup puterimu kepada seseorang yang ingin menkahinya, kami akan menjadikanmu sebagai contoh hukuman bagi seluruh penduduk negeri karena telah membuka aib seseorang. Lebih baik nikahkanlah puterimu dalam pernikahan yang suci tanpa harus menanggung malu karena aib masa lalunya.”

Sumber :http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,48084-lang,id-c,hikmah-t,Nasihat+Umar++Jangan+Ceritakan+Masa+Lalu+Putrimu-.phpx

Sembilan dari 10 Pintu Rezeki Ada di Perdagangan


Purwokerto, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar Farid Mas’udi mengingatkan, sembilan dari 10 pintu rezeki terletak di dalam dunia perdagangan. Untuk itu ia mengimbau para pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI) agar tidak berputus asa dari rahmat Allah SWT.

“Teruslah berusaha banting tulang. Sebab Sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah di perdagangan. Sisanya satu pintu direbutkan banyak profesi,” kata Masdar saat mengisi Banyumas Informasi Meeting di Gedung FKUB Purwokerto jalan A Yani Purwokerta, Ahad (16/2).

Di samping itu, lanjutnya, berdagang juga merupakan sunah Rasulullah SAW karena Beliau juga berprofesi sebagai pedagang. Ia berpesan agar HIPSI mampu merumuskan strategi bisnis kaum santri. Sehingga, tidak tergilas pengusaha lain dan mampu menjadi pelaku usaha yang berahlakul karimah.

Senada dengan Masdar, Ketua Umum HIPSI Moh Ghozali mengajak teman-teman pengurus HIPSI di daerah agar pandai-pandai membaca peluang bisnis. Di samping itu, mereka harus memiliki kemampuan merekrut pemangku kebijakan serta membuka jaringan kerja di daerahnya baik dengan perusahaan besar maupun mitra-mitra lainnya.

Sementara pengasuh pesantren Al-Hikmah 2 Benda Sirampog KH Sholahuddin Masruri yang juga Pembina HIPSI Jateng mengatakan, “Kita harus ingat bahwa lahirnya NU berawal dari kebangkitan ekonomi (Nahdlatut Tujar). Karena itu kita mempunyai kewajiban mengawal dengan cara meningkatkan perekonomian warga NU melalui HIPSI.”

KH Sufaat sebagai panitia penyelenggara menjelaskan, Banyumas Meeting digelar sebagai upaya merumuskan strategi bisnis selain ajang konsolidasi HIPSI se-Jateng.

Narasumber lain yang turut mengisi acara seorang budayawan KH Ahmad Tohari, akademisi Unsoed Dr Nurul Anwar, dan seorang pengusaha Agus Windiarto.

Ketua HIPSI Brebes H Moh Sodikin menuturkan, HIPSI Brebes akan menyelenggarakan pelatihan marketing dan marketing online kerja sama dengan Telkomsel sebagai tindak lanjut pertemuan ini. “Kami juga dalam waktu dekat akan membuka Restoran Cepat Saji “So Tasty Cickhen” di Bumiayu kerjasama dengan SO GOOD,” imbuhnya. (Wasdiun/Alhafiz K)

Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,50231-lang,id-c,nasional-t,Sembilan+dari+10+Pintu+Rezeki+Ada+di+Perdagangan-.phpx

Hukum Parfum Beralkohol

Bagi sebagian kalangan, barang encer dalam botol minyak wangi bisa menaikkan tingkat kepercayaan diri. Tetapi tidak sedikit mereka yang berjiwa besar tanpa mengenal parfum. Di antara keduanya, ada juga mereka yang mengenakan minyak wangi dalam tempo tertentu sesuai kehendak hati. Yang jelas, setiap mereka mengantongi alasan macam-macam.

Perdagangan cairan wangi asiri yang mudah menguap pada temperatur agak rendah ini bisa didapati di emper masjid, pasar tradisional, pasar swalayan, atau pasar-pasar malam dadakan.

Pedagang minyak wangi biasanya menerakan minyak wangi yang tidak mengandung alkohol. “Nonalkohol,” dengan tulisan besar. Untuk yang beralkohol, biasanya tanpa keterangan apapun. Penggolongan keduanya bisa berasal dari pedagang, peracik, atau produsennya.

Penggolongan ini sekurangnya membelah sikap warga. Ada yang memilih nonalkohol untuk menenangkan hati jika mereka bersembayang. Pasalnya, ia menganggap najis zat alkohol yang digolongkan ke dalam khamar. Sedangkan yang lain mengambil parfum beralkohol di samping ada juga mereka yang tidak mengambil peduli.

Sikap di atas bisa dijelaskan secara hukum antara lain; pertama zat alkohol termasuk ke dalam khamar. Artinya alkohol sebagaimana khamar juga haram dan najis. Sedangkan pendapat kedua mengatakan, alkohol hanya haram dikonsumsi, tetapi tidak najis digunakan untuk kepentingan parfum misalnya.

“Alkohol tidak identik dengan khamar. Kekeliruan orang banyak mengidentikan keduanya. Padahal keduanya tidak selalu identik. Kalau alkohol diminum, ia baru disebut khamar. Tetapi sejauh digunakan untuk parfum, tidak menjadi apa,” kata Katib Aam PBNU KH Malik Madani di Gedung PBNU jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Kamis (13/2).

Sementara pendapat ketiga mengatakan, khamar itu tetap suci kendati tetap haram. Keterangan ini bisa didapat dari Syekh Abdul Wahab bin Ahmad Al-Ansori yang lazim dikenal As-Sya’roni dalam kitab Al-Mizanul Kubro berikut.

أجمع الأئمة علي نجاسة الخمر إلا ما حكي عن داود أنه قال بطهارتها مع تحريمها

“Para imam mujtahid sepakat atas najisnya khamar kecuali riwayat dari Imam Daud. Ia berpendapat, khamar itu suci meski haram untuk dikonsumsi.” Pendapat ini bisa berlaku bagi mereka yang mengidentikkan alkohol dan khamar. Wallahu A’lam.

Sumber :http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,50255-lang,id-c,syariah-t,Hukum+Parfum+Beralkohol-.phpx




Monday, 17 February 2014

Ekstrimisme dan Kerancuan Dakwah MTA

Meluruskan Doktrin MTAJudul : Meluruskan Doktrin MTA; Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al-Qur’an

Penulis: Nur Hidayat Muhammad

Penerbit: Muara Progresif, Surabaya

Cetakan: I, Januari 2013

Tebal : xiv + 206 hlm.

Pemesanan : 087 833 225 136






Peresensi: Ihya `Ulumuddin*
Dalam banyak hal, warga Nahdliyyin kerap menjadi target dan sasaran beruntun kelompok atau aliran-aliran yang kontra secara aqidah dan amaliah dengan ormas Islam terbesar di Indonesia ini. Di antara kelompok yang secara gamblang menaruh “ketidaksukaan” kepada warga nahdliyyin ialah MTA atau biasa disebut Majelis Tafsir al-Qur’an, yakni lembaga dakwah yang menyublimasi dirinya menjadi sebuah yayasan dengan pendidirinya Abdullah Thufail Saputra pada 19 September 1972.
Untuk kesekian kalinya, kemunculan MTA merupakan warning bagi warga Nahdliyyin secara khusus, dan umat Islam pada umumnya setelah Syiah, Wahabi, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tablig, Jama’ah Islamiyah dan sebagainya.
Apa yang sejatinya salah dengan MTA, dan mengapa juga kehadirannya menjadi peringatan bagi warga Nahdliyyin? Melalui karya saudara Nur Hidayat Muhammad dalam bentuk bukunya yang berjudul “Meluruskan Doktrin MTA; Kritik Atas Dakwah Majelis Tafsir Al Qur’an di Solo” banyak hal diungkapkan mengenai segala jeroan MTA, yang darinya dapat diambil sebuah pelajaran penting hingga nantinya bisa mengenali secara kaffah MTA dengan segala gerak-tingkah dan dakwahnya yang berpusat di Solo (Surakarta) ini.
Sejak awal pendirian, MTA sudah diindikasi sebagai sebuah organisasi yang tidak “dikehendaki” kelahirannya oleh masyarakat. Dalam situs resminya, MTA mengakui demikian. MTA tidak dikehendaki menjadi ormas/orpol tersendiri di tengah-tengah ormas-ormas dan orpol-orpol Islam lain yang telah ada, dan tidak dikehendaki pula menjadi onderbouw ormas-ormas atau orpol-orpol lain. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badan hukum yang dipilih adalah yayasan. Pada tanggal 23 Januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodiroerjo. (http://www.mta-online.com/sekilas-profil/)
Meski dikenal sebagai sebuah yayasan, dalam pergerakannya ia tidak lazimnya sebuah yayasan. MTA sebagai yayasan mempunyai hidden mission, yakni misi dakwah dan pendoktrinan sebuah ajaran. Kalau boleh disinggung, sedikitnya ada tiga point penting yang perlu dicermati dari ekstrimitas gerakan dakwah dalam ajaran MTA ini. Antara lain, konsep jama’ah MTA, bangunan aqidah MTA, dan manhaj atau metode berpikir MTA.
Pertama, konsep jama’ah yang diyakini MTA ialah memakai sistem Imam yang dibai’at, dita’ati dan dijadikan sebagai panutan seluruh anggota MTA. Lebih ekstrim, jika ada anggota yang keluar dari MTA, tiada lain “hadiahnya” adalah diboikot. Kedua, dalam masalah aqidah, MTA mengingkari syafa’at di akhirat; mengimani kalau orang Islam masuk neraka, maka akan selamanya di neraka tanpa sedikitpun mencicipi surga, sebagaimana pemahaman kelompok Khawarij dan Mu’tazilah; dan mengingkari kesurupan jin dan mengingkari santet.
Begitupun manhaj yang dipedomani MTA, corak berpikir MTA dalam memahami dan mengambil sebuah hukum, porsi akal menduduki peran yang signifikan, bahkan tidak sedikit mereka mengesampingkan hadits-hadits shahih jika ada kontradiksi dengan al-Qur’an. Corak berifikir yang senantiasa mengunggulkan akal semacam ini, tentu akan beriring-kelindan dengan produk-produk ajarannya. Baik dari segi akidah, pemikiran, hukum (fiqih), tradisi-tradisi yang dijalankan, hingga pada lingkup yang lebih luas lagi. Satu misal dalam corak pemikiran MTA, mereka tidak lagi mengakui kredibilitas Ulama’ dan produk-produk ijtihadnya. Justru mereka memposisikan para Ulama’ sebagai kaum Ortodoks (kolot) yang tidak perlu diikuti, karena hanya al-Qur’an dan as-Sunnah saja yang benar menurut mereka.
Di samping pola gerakan MTA yang tergolong ekstrim, MTA juga boleh dikata memasuki wilayah kerancuan, ketidakjelasan dan tidak konsisten dalam berpendapat dan memutuskan sebuah hukum. Tahlil dan shalawat oleh MTA dinilai sesat karena tidak berdasarkan tuntunan Nabi, begitu pun yasinan dan selamatan, dituding sebagai amalan syirik yang tidak pernah sekalipun Nabi ajarkan. Meskipun demikian berani MTA menusuk ke organ-organ amaliah warga Nahdliyyin, disayangkan MTA tidak cukup berani untuk mendialogkan (baca: mempertanggungjawabkan) hasil dari “Ngaji Al-Qur’an Sak Maknane” tersebut di depan masyarakat luas. Wa’allahu ‘alam!
* Peresensi adalah staff di Aswaja NU Center PW NU Jawa Timur.
Sumber: NU Online

Buku Antologi NU; Buku II; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah

Antologi NU IPenulis: H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos, Pengantar: K.H. Abdul Muchith Muzadi, Penerbit: Khalista, Surabaya, Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: xviii + 322 halaman, Peresensi: M. Abdul Hady JM



Pemesanan : 087 833 225 136

 
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU. Diantara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem brmadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam’iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.
Sebagai organisasi keagamaan, NU telah melewati pergulatan sejarah yang cukup panjang. Setidaknya, NU telah melewati beberapa masa atau era yaitu era pra kemerdekaan, orde lama (pasca kemerdekaan), orde baru, dan reformasi. Dalam setiap perjalanan panjang ini, tentu saja NU mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup besar. Buku “Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” ini mencoba memberikan potret cukup jelas dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy’ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi. 
Pada awal berdirinya, NU merupakan sebuah “jam’iyyah diniyyah ” murni (independen). Ia bukan organisasi politik, bahkan tidak berafiliasi sama sekali terhadap partai politik tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, NU pernah bergabung dengan partai politik tertentu, bahkan pernah menjadi partai politik sendiri.
Pada tahun-tahun awal berdirinya, yaitu tahun 1926- 1942, perjuangan NU dititik-beratkan pada penguatan doktrin Ahlussunnah waljamah (Aswaja) dalam rangka menghadapi serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program konkretnya, selain melakukan penguatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pesantren adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.
Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NU dideklarasikan sebagai partai politik sendiri, setelah sebelumnya cukup lama bergabung dengan Masyumi. Pada pemilu pertama 1955, Partai NU muncul sebagai kekuatan yang cukup besar dengan menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa-masa ini yaitu ketika masih menjadi partai politik, banyak tokoh NU yang menempati posisi strategis dalam lembaga pemerintahan dan lembaga legislatif, serta banyak juga yang diangkat sebagai Duta Besar RI di luar Negeri (hal. 18-20).
NU terus menapaki lorong-lorong terjal sejarah. Pada masa berikutnya yaitu sejak tahun 1973 Partai NU tidak diakui lagi, dan dipaksa harus melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masa ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa peleburan partai ini, tokoh-tokoh NU (sengaja) dipinggirkan dari kancah perpolitikan nasional dan pemerintahan oleh rezim otoriter Orde baru. Bahkan banyak tokoh NU yang dijebloskan ke dalam penjara dengan aneka macam tuduhan.
Pada dasawarsa 1980-an terjadi perubahan mengejutkan di tubuh NU. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, NU kembali ke khitthah 1926. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya semula sebagai organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah).
Pada masa ini, NU mulai lebih mengurusi pendidikan dan lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Kegiatan-kegiatan pengajian kembali digalakkan, bahkan mulai masuk ke unit-unit pemerintahan. Satu persatu cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali (hal. 21).
Sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam NU terdapat banyak istilah baik yang terkait dengan kelengkapan organisasi maupun nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini dijelaskan ada 57 istilah. Istilah-istilah tersebut disebutkan secara alpabet.
Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliah yang tidak terdapat, bahkan tidak dikenal di luar organisasi NU. Bahkan ada yang dianggap sebagai amaliah bid’ah. Sekadar disebutkan misalnya, di antaranya, barzanji, tahlil, tawassul, dan ziarah kubur. Seperti nama-nama istilah dalam NU tersebut, beberapa budaya dan amaliah warga NU ini juga dipaparkan secara alpabet dari A sampai Z.
Pada bab terakhir, yaitu bab IV pembaca juga disuguhi kisah singkat para tokoh atau kiai NU. Namun dalam buku ini hanya 49 tokoh yang disebutkan. Mereka memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal langkah perjalanan panjang NU. Namun demikian, selain tokoh-tokoh tersebut sejatinya juga masih banyak NU yang tak kalah pentingnya. Dari kisah singkat para tokoh ini, setidaknya kita, terutama warga NU dapat mengambil pelajaran penting (uswah) dari pernik-pernik kehidupan dan pengabdian mereka. Sebab, kontribusi mereka terhadap bangsa khusunya NU sangat besar.
Menariknya, dalam buku ini  juga dilengkapi beberapa gambar peristiwa, kegiatan NU, dan foto-foto para tokoh NU tersebut. Sehingga, selain penampilan buku ini semakin menarik, yang terpenting, pembaca bukan hanya tahu namanya saja melainkan juga dapat mengetahui wajah para tokoh yang dipaparkan dalam buku ini. Akhirnya selamat membaca. !!!.

*M. Abdul Hady JM, Mahasiswa Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Alumnus PP. Al-Jalaly Ambunten Sumenep Madura.
Sumber: NU Online

Buku Contohlah Sholat Rasulullah

Judul Buku: Shalatlah Seperti Rasulullah (Dalil Keshahihan Shalat ala Aswaja)
Penulis : KH. Muhyiddin Abdusshomad
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : xiv+186 Halaman
 
 Pemesanan : 087 833 225 136
 
 
Shalat adalah ibadah (ritual) yang dipersembahkan kepada Allah SWT sebagai wujud rasa syukur seorang hamba agar mendapat ridha dan rahmat-Nya. Shalat juga adalah sebagai sarana komunikasi untuk bermunajat kepada Allah, dan merupakan bentuk dialog antara seorang hamba dengan Sang Khaliq.
Kalau ditanya, apa yang paling Islam dalam agama Islam? Jawabannya adalah shalatnya. Shalat merupakan rukun Islam setelah seorang berikrar mengucapkan dua kalimat syahadah (bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya). Shalat dikatakan paling Islam, karena beberapa ritual dalam Islam merupakan akulturasi budaya dari agama sebelumnya. Secara dhahir, seseorang dikatakan muslim jika ia melakukan shalat (shalat fardu, lima waktu).
Perintah diwajibkannya melaksanakan shalat merupakan yang istimewa dibandingkan dengan beberapa kewajiban lainnya dalam Islam. Ketika Allah hendak memerintahkan shalat kepada umat Islam, lalu Nabi Muhammad SAW dipanggil langsung untuk menghadap kepada-Nya guna menerima perintah shalat. Peristiwa ini kita kenal dengan isro’ dan mi’roj. Tetapi kewajiban yang lain seperti puasa, zakat, berhaji (bagi yang mampu) melalui perantara malaikat Jibril. Itulah satu keistimewaan perintah shalat.
Secara substantif, ketika Allah hendak memerintahkan shalat caranya adalah dengan cara memanggil Nabi Muhammad menghadap-Nya, yang menandakan tidak ada tabir (penghalang, jarak) antara Allah dan Nabi Muhammad, maka sesungguhnya pula bahwa shalat adalah merupakan media komunikasi (interaksi langsung) antara seorang hamba dengan sang Khaliq.
Ketika shalat dijadikan sebagai instrumen komunikasi antara yang dicipta dengan pencipta, maka shalat merupakan kebutuhan dasar setiap individu. Artinya, kalau meminjam bahasanya KH Moh Zuhri Zaini dalam pengantar buku ini, bahwa tidak akan menurunkan derajat ke-Tuhan-an Allah kalau hamba tidak melakukan shalat (menyembah) begitu juga sebaliknya, tidak menambah derajat Allah walaupun seorang hamba melakukan shalat. Dapat disimpulkan, bahwa Tuhan tidak butuh dengan penghambaan umatnya, melainkan hamba yang membutuhkan terhadap shalat itu.
Suatu bukti empris bahwa shalat sebagai kebutuhan bagi manusia, belakangan ini banyak yang mengkaitkan shalat dengan kesehatan, etos kerja dan kesuksesan. Misalnya penyembuhan penyakit dengan terapi shalat sunnah tahajjud, shalat hajat, istikharah, dhuha dan lainnya untuk sebuah kesuksesan dan karir serta beberapa praktek shalat lainnya yang memang menjadi dasar kebutuhan manusia. Karena manusia dicipta oleh Allah, dalam ilmu psikologi dikenal sebagai makhluk yang selalu mencari kepuasan untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Ketidakpuasan terhadap sesuatu itu membuat seseorang tidak henti mencari kebutuhan.
Karena shalat merupakan perintah agama, maka didalam mendirikannya ada sebuah tuntunan: cara dan waktu. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “shalluu kama raaitumuunii ushalli” (shalatlah, seperti kalian melihat aku shalat). Shalat tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan keputusan dan pemahamanannya sendiri-sendiri. Kenapa demikian, karena katika seseorang hendak dan melaksanakan shalat berarti ia akan menghadap dan berdialog dengan yang Maha Suci.
Perbedaan tata cara melaksanaan shalat disebabkan oleh sebuah doktrin dari suatu aliran yang dipahami oleh setiap individu dan kelompok. Dari adanya perbedaan itu tadi dalam praktek shalat, berujung pada sebuah ejekan (saling menyalahkan dan mengaku dirinya paling benar). Walaupun yang menghakimi shalat kelompok tertentu salah itu terkadang tanpa didasari pada sebuah dalil dan rujukan yang jelas, hanya berdasar emosi dan kepentingan. Perbedaan seperti itu perlu dihindari, karena hanya mengganngu terhadap kekonsentrasian shalat. Bahkan belakangan ini (katanya) muncul akibat penafsiran yang keliru terhadap suatu teks yang namanya praktek “shalat bersih”. Bagaimana ritual ini dilaksanakan? Shalat bersih ini pelaksanaannya berada dalam ruangan khusus, laki-laki dan perempuan bercampur, ruangan yang gelap, ketika mau hendak melaksanakan shalat semua telanjang bulat, tanpa busana sedikitpun antara laki-laki dan perempuan.
Buku Shalatlah Seperti Rasullullah (Dalil Keshahihan Shalat ala Aswaja) merupakan jawaban terhadap  beberapa persoalan diatas. Tidak bermaksud untuk menggurui tetapi hendak meluruskan beberapa praktek shalat yang telah menyimpang sebagaimana yang digariskan oleh Rasulullah SAW, seperti sabdanya shalluu kama raaitumuunii ushalli.
Ahlussunnah wal jamaah, spesifik warga nahdhiyyin (sebutan dari warga Nahdlatul Ulama – NU) yang selalu mendapat tudingan bahwa terdapat praktek-praktek bid’ah di dalam melakukan shalat. Tidak bermaksud untuk mengkalim bahwa praktek shalat  yang dilakukan oleh kelompok ini yang paling benar, hanya saja ingin memberikan penjelasan bahwa beberapa bacaan dan gerakan dalam shalat adalah berdasar pada sebuah dalil: Al-Qur’an, Hadits Nabi, dan qaul beberapa ulama klasik juga untuk memantapkan (menghilangkan keragu-raguan) kalau dikatakan praktek shalat dilakukan oleh warga nahdhiyyin itu tidak berdasar pada dalil syar’i.
Buku ini dimulai dari bahasan mengenai keutamaan shalat, apa saja persiapan sebelum shalat, gambaran bagaimana Rasullullah mengerjakan shalat, amaliah (wiritan) setelah shalat, keutamaan shalat berjamaah, hal-hal yang perlu dihindari ketika sedang shalat, dan macam-macam shalat sunnah. Masing-masing topik bahasan itu disertai dengan bacaan, dalil Qur’an dan Hadits Nabi serta pendapat ulama-ulama klasik. Selamat membaca!
Peresensi: Ach. Syaiful A’la (Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda, Bicabbi Dungkek Sumenep) Sumber: NU Online

BUKU HUJJAH NU Akidah-Amaliah-Tradisi






“Buku yang menguraikan Akidah, Amaliah dan tradisi kaum Nahdliyyin ini, menyadarkan kita bahwa sebetulnya Umat Islam di Indonesia sudah mendapatkan referensi sekaligus justifikasi atas model perjumpaan antara tradisi dan ajaran Islam dalam bentuk dalil-dalil yang sudah disepakati para ulama, terutama kalangan ahlussunnah waljamaah, sebagai mayoritas muslim di Indonesia dan dunia. Sebagai  sarana dakwah, buku ini sangat  efektif dalam memberikan pemahaman terhadap hal-hal yang selama ini disalahpahami oleh sebagian kalangan. Buku ini juga membahas tentang rumusan dan pengertian aswaja, peranan Walisongo dan hal-hal lain yang lebih elementer seperti sistem bermadzhab yang dianut kalangan Nahdliyyin.

Pemesanan : 087 833 225 136

BUKU PEMIKIRAN KH.M. HASYIM ASY’ARI TENTANG AHLUS-SUNNAH WA AL-JAMA’AH

Kajian buku ini memberikan gambaran utuh dan fokus mengenai bagaimana Ahl Sunnah wa al-Jama’ah dimaknai oleh KH. M. Hasyim Asy'ari dan komunitasnya di tengah dialektika wacana modernisme dan tradisionalisme Islam di Indonesia. Studi semacam ini, selain dapat memberikan referensi bagi usaha-usaha reaktualisasi ideologi, juga berguna untuk menambah khazanah keilmuan tentang Sunni Partikular, yaitu ekspresi Ahl Sunnah wa al-Jama’ah pada dimensi ruang dan waktu tertentu.

Pemesanan : 087 833 225 136

Buku MEMBEDAH BID’AH & TRADISI DALAM PERSPEKTIF AHLI HADIST & ULAMA SALAFI

Dewasa ini seiring dengan derasnya arus globalisasidan modernisasi, telah berkembang beberapa aliran transnasional yang anti tradisi dan berupaya membabat habis tradisi lokal serta menggantikannya dengan tradisi sebagian bangsa Arab modern dengan dalih purifikasi ajaran Islam serta kembali kepada ajaran al-Qur'an dan Sunnah. Kelompok anti tradisi ini dipelopori oleh gerakan Salafi atau Wahhabi, dan berpengaruh luas terhadap aliran transnasional lainnya.
Namun sayang sekali, semangat dan obsesi kelompok tersebut dalam upaya membabat habis seluruh tradisi lokal, bukanlah berangkat dari dalil-dalil al-Qur'an, Sunnah dan aqwal ulama yang otoritatif (mu'tabar), yang selama ini menjadi pedoman mayoritas umat Islam Ahlusunnah wal Jama'ah di berbagai belahan dunia Islam.
Oleh karena itu buku kecil ini berupaya menjelaskan beragam tradisi umat Islam di tanah air berdasarkan al-Qur'an dan Hadits, serta menurut perspektif para ulama yang menjadi rujukan utama kaum Wahhabi.

Pemesanan : 087 833 225 136

BUKU MEMBEDAH BID’AH & TRADISI DALAM PERSPEKTIF AHLI HADIST & ULAMA SALAFI

Buku ini secara umum terdiri dari tiga pembahasan utama yang dipaparkan dalam tiga bab. Pertama, penjelasan tentang berbagai kelompok, aliran dan sekte dalam sejarah umat Islam serta beberapa kelompok atau organisasi yang lahir dan berkembang pada kurun-kurun akhir, baik di Indonesia maupun di negara lain. Pembahasan ini berguna untuk memetakan posisi Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang moderat (tawassuth).
Kedua, pembahasan tentang Ahlussunnah Wa-Jama’ah yang diikuti oleh Nahdhatul Ulama (Aswaja NU), termasuk penjelasan mengenai madzhab teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi yang diikuti oleh organisasi terbesar di Indonesia ini, bahkan oleh mayoritas umat Islam di dunia sepanjang zaman.
Ketiga, pamaparan mengenai tradisi islami dan dalil-dalilnya. Khususnya bagi warga NU yang barangkali memandang tradisi islami sebagai suatu kebiasaan, kini sudah saatnya memahami, bahkan melakukan pembelaan, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini bukanlah bid’ah yang sesat, yang dapat menjerumuskan mereka dalam siksa neraka. Sedang bagi selain warga NU yang selama ini rajin menuduh bahwa NU adalah “gudang”nya takhayyul, bid’ah, c(k)hurafat (biasa mereka singkat TBC), menjadi mengerti bahwa yang dilakukan umat Islam yang berafiliasi ke NU ternyata memiliki dasar dalil. Minimal, mereka menjadi sosok yang dapat memahami perbedaan di tengah umat dengan cara yang santun, dewasa, dan arif. Perbedaan dalam masalah furu’iyyah (cabang agama) adalah suatu keniscayaan, bukan malah dijadikan sebagai senjata yang digunakan untuk menyerang sesama saudara seiman dan seagama.

Pemesanan : 087 833 225 136

BUKU FIKIH KESEHARIAN GUS MUS KH. A. Mustofa Bisri

“Gus Mus dalam memberikan solusi problematika keumatan disampaikan dengan ringkas dan (terasa) mengalir serta enak di-baca, sehingga rangkaian argumen dan dalil-dalil fikih yang sebelum-nya terasa sulit dipahami, hadir dengan ‘rasa baru’. Problematika yang ada di buku ini meliputi: Akidah, Bersuci, Salat, Puasa, Haji, Mobilisasi Dana dan Persoalan Ekonomi Modern, Moralitas dan Toleransi Umat Beragama serta Budaya Kontemporer.


Pemesanan : 087 833 225 136

BUKU DIALOG PROBLEMATIKA UMAT OLEH DR. KH. MA. Sahal Mahfudh

Judul: Dialog Problematika Umat
Penulis: KH. MA Sahal Mahfudz
Penerbit: Khalista Surabaya dan LTN PBNU
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: xii+464 hal.
Peresensi: Ahmad Shiddiq *


 Hub : 087 833 225 136 ( Pemesanan )



Orang mengenal Kiai Sahal sebagai sosok kiai yang bersahaja. Namun, di balik kesederhanaannya, pengasuh Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati, Jawa Tengah ini memiliki keluasan ilmu yang jarang dimiliki oleh kiai kebanyakan. Tidak salah kalau kemudian dalam penelitian yang dilakukan Dr Muzammil Qomar, beliau disejajarkan dengan nama-nama besar semisal (alm) KH Achmad Shiddiq sebagai tokoh yang mempunyai pemikiran liberal. Bahkan  beberapa waktu yang lalu kiai bernama lengkap Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz ini di anugerahi Doctor Honoris Causa (Dr HC) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta karena keteguhannya dalam fikih Indonesia.
Kiai Sahal adalah figur, pemimpin, ekonom, pendobrak kebekuan, kemunduran, kemiskinan, dan latar belakang. Sosok multidisipliner dan dinamisator kalangan pesantren serta Nahdlatul Ulama, dua lembaga yang membesarkan juga dibesarkannya. Sebagai ulama, Kiai Sahal tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan agamanya, khususnya penguasaan terhadap kitab kuning atau al-turast al-islami. Kapasitas keulamaan ini terlihat dari karya yang sangat banyak meliputi berbagai aspek keilmuan.
Dunia pesantren maupun akademisi begitu memberikan apresiasi sekaligus kepercayaan kepadanya untuk bisa mentransformasikan keilmuan di berbagai tempat, termasuk lewat berbagai media yang telah memberikan kesempatan kepada beliau untuk mengisi rubrik khusus sebagai kolumnis maupun forum dialog atau bathsul masail, yang diantaranya menjadi buku ini.
Dengan pemikiran yang tajam, ia mampu memberikan solusi secara kronologis, jelas, transparan dan sistematis dari setiap problema umat yang disodorkan kepadanya. Disini dibahas tuntas problematika mengenai bersuci, shalat, puasa Ramadhan, zakat dan pemberdayaan ekonomi umat, haji, rumah tangga, antara tuntutan ibadah dan rekayasa teknologi, akidah-akhlak, mengagungkan kitab suci, makanan, dan etika sosial.
Bagi Kiai Sahal, fiqh bukanlah konsep dogmatif-normatif, tapi konsep aktif-progresif. Fiqh harus bersenyewa langsung dengan ‘af al al-mutakallifin sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun mu’amalah (interaksi sosial ekonomi). Kiai Sahal tidak menerima kalau fiqh dihina sebagai ilmu yang stagnan, sumber kejumudan dan kemunduran umat, fiqh justru ilmu yang langsung bersentuhan dengan kehidupan riil umat, oleh karena itu fiqh harus didinamisir dan revitalisir agar konsepnya mampu mendorong dan menggerakkan umat Islam meningkatkan aspek ekonominya demi mencapai kebahagian dunia-akhirat.
Kontekstualisasi dan aktualisasi fiqh adalah dua term yang selalu dikampanyekan Kiai Sahal baik secara ‘qauli (teks) melalui acara seminar, simposium, dan sejenisnya. ‘kitabi (tulisan) dikoran, majalah, makalah, serta fi’li (tindakan) dalam bentuk aksi langsung di tengah masyarakat dengan program-program riil dan konkret yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Dalam buku ini, jelas bahwa umat Islam sekarang dalam sebuah kebingungan menghadapi dunia modern. Dunia modern yang selama ini dibanggakan oleh masyarakat, ternyata malah menyisakan problem yang memprihatinkan. Dunia modern diagung-agungkan dengan berbagai kecanggihan informasi, transportasi, dan alat-alat teknologi lainnya ternyata gagal membentuk pribadi muslim yang luhur dan mampu mengorbankan serta pengabdian dirinya untuk masyarakat. Semua orang dengan bangga berkata sebagai orang modern, tetapi ternyata hatinya berpenyakit dan begitu menyedihkan bila ditinjau dalam segi agama.
Bagi Kiai Sahal, kebenaran sesuatu selain dari dalil-dalil naqliyah juga bisa berasal dari dalil aqliyah. Memang al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber hidayah yang paling utama dan esensial bagi umat Islam. Namun peran akal juga tidaklah kalah penting. Dalam beberapa ayat, peran akal sangat istimewa bahkan orang-orang yang diberi ilmu derajatnya tinggi dihadapannya. Hasil pemikiran sains yang berkembang sekarang dapat kita jadikan sebagai petunjuk untuk mempertebal keimanan asalkan tidak bertentangan dengan ketetapan syariah. Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran bukan bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains dan ilmu pengetahuan diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan. Ini penting karena berguna meningkatkan kualitas hidup manusia dan bahkan bisa mempertebal iman.
Pergulatan panjang Kiai Sahal dalam lapangan fiqh sosial ini ternyata membawa perubahan besar dan dahsyat dalam lapangan pemikiran pesantren dan akademis  (perguruan tinggi), ekonomi kerakyatan, kebudayaan, kelembagaan (pesantren dan NU), dan politik kebangsaan. Dari kalangan peasntren, pemikiran progresif fiqh sosial Kiai Sahal mendorong santri dan Gus-Gus muda pesantren belajar secara mendalam ilmu usul fiqh dan mengembangkan untuk merespons tantangan modernisasi sekarang ini. Lalu muncullah pemikir-pemikir muda pesantren dan NU progresif, transformatif, dan inovatif, dan mereka jauh lebih berani keluar mainstream pemikiran NU, tetapi tetap dalam koridor ahlusunnah wal jamaah.

Dengan demikian, dilihat dari kacamata akademik pesantren Kiai Sahal mampu menyediakan informasi yang komprehensif dan cermat dalam menganalisis serta akurat dalam menyajikan jawaban-jawaban umat. Rais Aam PBNU ini, telah lebih maju dengan memberikan tawaran gagasan-gagasan segar terkait problematika umat dengan pengembangan qawaid ushuliyah untuk menjadikan fiqh sebagai bagian dari peradaban modern.
Wal-hasil buku setebal 464 ini dapat menjadi inspirasi kaum muda dalam mengembangkan lebih jauh gagasan-gagasan ulama sekaliber KH MA Sahal Mahfudz dan tentunya patut menjadikan buku ini, rujukan menemukan jawaban hukum Islam yang berkaitan problematika umat. Selain mudah dibaca oleh siapa saja, buku ini memberikan jawaban nuansa berbeda yang disesuaikan dengan zaman kontemporer. Waallahu a’lamu bi al-shawab.
*) Penulis Santri Pesantren Luhur Al-Husna dan Redaktur Pena Pesantren Surabaya
Sumber: NU Online

Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram”

Judul : Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?

Penulis : Muhammad Idrus Romli

Editor: Achmad Ma’ruf Asrori

Penerbit: Khalista, Surabaya

Cetakan: I, 2012Tebal: v + 82 hlm.

Peresensi: Ach. Tirmidzi Munahwan

 
 
Buku kecil “Bernarkah Tahlilan dan Kenduri Haram”, yang sederhana ini ditulis oleh salah seorang anak muda NU dan sangat produktif menulis berasal dari Jember. Kehadiran buku ini dilatar belakangi saat penulis mengisi acara daurah pemantapan Ahlussunnah Waljama’ah di salah satu Pesantren di Yogyakarta. Ketika sampai dalam sesi tanya jawab, ada salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Selain itu penaya juga memberikan selebaran Manhaj Salaf, setebal 14 halaman dengan kumpulan artikel berjudul “Imam Syafi’i Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan”.
Tradisi tahlilan, yasinan, dan tradisi memperingati 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari orang yang meninggal dunia adalah tradisi yang telah mengakar di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kalangan warga nahdliyin. Dan tradisi tersebut mulai dilestarikan sejak para sahabat hingga saat ini, di pesantrenpun tahlilan, yasinan merupakan tradisi yang dilaksanakan setiap hari setelah shalat subuh oleh para santri. Sehingga tahlilan, yasinan merupakan budaya yang tak pernah hilang yang senantiasa selalu dilestarikan dan terus dijaga eksistensinya.
Seiring dengan lahirnya aliran-aliran baru seperti aliran wahabi atau aliran salafi yang telah diceritakan oleh penulis, tradisi tahlilan dan yasinan hanyalah dianggap sebatas budaya nenek moyang yang pelaksanaannya tidak berdasarkan dalil-dalil hadits atau al-Qur’an yang mendasarinya. Sehingga aliran Wahabi dan Aliran Salafi menolak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut, bahkan mereka menganggapnya perbuatan yang diharamkam.
Tahlilan, yasinan  merupakan tradisi yang telah di anjurkan bahkan disunnahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Yang di dalamnya membaca serangkaian ayat-ayat al-Qur’an, dan kalimah-kalimah tahmid, takbir, shalawat yang di awali dengan membaca al-Fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh pembaca atau yang punyak hajat, dan kemudian ditutup dengan do’a. Inti dari bacaan tersebut ditujukan pada para arwah untuk dimohonkan ampun kepada Allah, atas dosa-dosa arwah tersebut.
Seringkali penolakan pelaksanaan tahlilan, yasinan, dikarenakan bahwa pahala yang ditujukan pada arwah tidak akan menolong terhadap orang yang meninggal. Padahal telah seringkali perdebatan mengenai pelaksanaan tahlil di gelar, namun tetap saja ada pihak-pihak yang tidak menerima terhadap adanya tradisi tahlil dan menganggap bahwa tahlilan, yasinan adalah perbuatan bid’ah.
Para ulama sepakat untuk terus memelihara pelaksanaan tradisi tahlil tersebut berdasarkan dalil-dalil Hadits, al-Qur’an, serta kitab-kitab klasik yang menguatkannya. Dan tak sedikit manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan tahlil tersebut. Diantaranya adalah, sebagai ikhtiyar (usaha) bertaubat kepada Allah untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal, mengikat tali persaudaraan antara yang hidup maupun yang telah meninggal, mengingat bahwa setelah kehidupan selalu ada kematian, mengisi rohani, serta media yang efektif untuk dakwah Islamiyah.
Buku ini menguraikan secara rinci tentang hukum kenduri kematian, tahlilan, yasinan, dan menjelaskan khilafiyah ulama salaf memberikan makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziah. Karena dikalangan ulama salaf masih memperselisihkan bahwa, memberikan makanan kepada orang-orang yang berta’ziah, ada yang mengatakan makruh, mubah, dan sunnah. Namun dikalangan ulama salaf sendiri tidak ada yang berpendapat tahlilan, yasinan merupakan perbuatan yang diharamkan. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh hijriah (hal. 13).
Menghadiahkan amal kepada orang yang telah meninggal dunia maupun kepada orang yang masih hidup adalah dengan media do’a, seperti tahlilan, yasinan, dan amalan-amalan yang lainnya. Karena do’a pahalanya jelas bermanfaat kepada orang yang sudah meninggal dan juga kepada orang yang masih hidup. Seorang pengikut madzhab Hambali dan murid terbesar Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qoyyim al-Jauziyah menegaskan pendapatnya, seutama-utama amal yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal adalah sedekah.
Adapun membaca al-Qur’an, tahlil, tahmid, takbir, dan shalawat dengan tujuan dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia secara sukarela, ikhlas tanpa imbalan upah, maka hal yang demikian sampailah pahala itu kepadanya. Karena orang yang mengerjakan amalan yang baik atas dasar iman dan ikhlas telah dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan pahala. Artinya, pahala itu menjadi miliknya. Jika meniatkan amalan itu untuk orang lain, maka orang lain itulah yang menerima pahalanya, misalnya menghajikan, bersedekah atas nama orang tua dan lain sebagainya.
Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan manapun baik yang pro maupun yang kontra terhadap adanya tradisi tahlilan dan yasinan. Agar supaya tradisi tahlilan dan yasinan yang sudah akrab ditengah-tengah masyarakat tidak lagi terus dipertanyakan mengenai kekuatan dalilnya. Sehingga agar tumbuh saling pengertian dan membangun solidaritas antar sesama muslim. Membaca buku kecil dan sederhana ini, pembaca akan mengetahui secara jelas terhadap dalil-dalil bacaan tahlilan, yasinan yang selama ini dikatakan haram dan perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam
* Dosen Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi
Sumber: NU Online