Judul Buku: Shalatlah Seperti Rasulullah (Dalil Keshahihan Shalat ala Aswaja)
Penulis : KH. Muhyiddin Abdusshomad
Penerbit : Khalista, Surabaya
Cetakan : I, Mei 2011
Tebal : xiv+186 Halaman
Pemesanan : 087 833 225 136
Shalat adalah ibadah (ritual) yang dipersembahkan kepada Allah SWT
sebagai wujud rasa syukur seorang hamba agar mendapat ridha dan
rahmat-Nya. Shalat juga adalah sebagai sarana komunikasi untuk
bermunajat kepada Allah, dan merupakan bentuk dialog antara seorang hamba dengan Sang Khaliq.
Kalau ditanya, apa yang paling Islam dalam agama Islam? Jawabannya
adalah shalatnya. Shalat merupakan rukun Islam setelah seorang berikrar
mengucapkan dua kalimat syahadah (bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya). Shalat dikatakan paling
Islam, karena beberapa ritual dalam Islam merupakan akulturasi budaya
dari agama sebelumnya. Secara dhahir, seseorang dikatakan muslim jika ia
melakukan shalat (shalat fardu, lima waktu).
Perintah diwajibkannya melaksanakan shalat merupakan yang istimewa
dibandingkan dengan beberapa kewajiban lainnya dalam Islam. Ketika Allah
hendak memerintahkan shalat kepada umat Islam, lalu Nabi Muhammad SAW
dipanggil langsung untuk menghadap kepada-Nya guna menerima perintah
shalat. Peristiwa ini kita kenal dengan isro’ dan mi’roj. Tetapi
kewajiban yang lain seperti puasa, zakat, berhaji (bagi yang mampu)
melalui perantara malaikat Jibril. Itulah satu keistimewaan perintah
shalat.
Secara substantif, ketika Allah hendak memerintahkan shalat caranya
adalah dengan cara memanggil Nabi Muhammad menghadap-Nya, yang
menandakan tidak ada tabir (penghalang, jarak) antara Allah dan Nabi
Muhammad, maka sesungguhnya pula bahwa shalat adalah merupakan media komunikasi (interaksi langsung) antara seorang hamba dengan sang Khaliq.
Ketika shalat dijadikan sebagai instrumen komunikasi antara yang
dicipta dengan pencipta, maka shalat merupakan kebutuhan dasar setiap
individu. Artinya, kalau meminjam bahasanya KH Moh Zuhri Zaini dalam
pengantar buku ini, bahwa tidak akan menurunkan derajat ke-Tuhan-an
Allah kalau hamba tidak melakukan shalat (menyembah) begitu juga
sebaliknya, tidak menambah derajat Allah walaupun seorang hamba
melakukan shalat. Dapat disimpulkan, bahwa Tuhan tidak butuh dengan
penghambaan umatnya, melainkan hamba yang membutuhkan terhadap shalat
itu.
Suatu bukti empris bahwa shalat sebagai kebutuhan bagi manusia,
belakangan ini banyak yang mengkaitkan shalat dengan kesehatan, etos
kerja dan kesuksesan. Misalnya penyembuhan penyakit dengan terapi shalat
sunnah tahajjud, shalat hajat, istikharah, dhuha dan lainnya untuk
sebuah kesuksesan dan karir serta beberapa praktek shalat lainnya yang
memang menjadi dasar kebutuhan manusia. Karena manusia dicipta oleh
Allah, dalam ilmu psikologi dikenal sebagai makhluk yang selalu mencari
kepuasan untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Ketidakpuasan terhadap
sesuatu itu membuat seseorang tidak henti mencari kebutuhan.
Karena shalat merupakan perintah agama, maka didalam mendirikannya
ada sebuah tuntunan: cara dan waktu. Sebagaimana sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari “shalluu kama raaitumuunii ushalli”
(shalatlah, seperti kalian melihat aku shalat). Shalat tidak bisa
dilaksanakan sesuai dengan keputusan dan pemahamanannya sendiri-sendiri.
Kenapa demikian, karena katika seseorang hendak dan melaksanakan shalat
berarti ia akan menghadap dan berdialog dengan yang Maha Suci.
Perbedaan tata cara melaksanaan shalat disebabkan oleh sebuah
doktrin dari suatu aliran yang dipahami oleh setiap individu dan
kelompok. Dari adanya perbedaan itu tadi dalam praktek shalat, berujung
pada sebuah ejekan (saling menyalahkan dan mengaku dirinya paling
benar). Walaupun yang menghakimi shalat kelompok tertentu salah itu
terkadang tanpa didasari pada sebuah dalil dan rujukan yang jelas, hanya
berdasar emosi dan kepentingan. Perbedaan seperti itu perlu dihindari,
karena hanya mengganngu terhadap kekonsentrasian shalat. Bahkan
belakangan ini (katanya) muncul akibat penafsiran yang keliru terhadap
suatu teks yang namanya praktek “shalat bersih”. Bagaimana ritual ini
dilaksanakan? Shalat bersih ini pelaksanaannya berada dalam ruangan
khusus, laki-laki dan perempuan bercampur, ruangan yang gelap, ketika
mau hendak melaksanakan shalat semua telanjang bulat, tanpa busana
sedikitpun antara laki-laki dan perempuan.
Buku Shalatlah Seperti Rasullullah (Dalil Keshahihan Shalat ala
Aswaja) merupakan jawaban terhadap beberapa persoalan diatas. Tidak
bermaksud untuk menggurui tetapi hendak meluruskan beberapa praktek
shalat yang telah menyimpang sebagaimana yang digariskan oleh Rasulullah
SAW, seperti sabdanya shalluu kama raaitumuunii ushalli.
Ahlussunnah wal jamaah, spesifik warga nahdhiyyin (sebutan dari
warga Nahdlatul Ulama – NU) yang selalu mendapat tudingan bahwa terdapat
praktek-praktek bid’ah di dalam melakukan shalat. Tidak bermaksud untuk
mengkalim bahwa praktek shalat yang dilakukan oleh kelompok ini yang
paling benar, hanya saja ingin memberikan penjelasan bahwa beberapa
bacaan dan gerakan dalam shalat adalah berdasar pada sebuah dalil:
Al-Qur’an, Hadits Nabi, dan qaul beberapa ulama klasik juga untuk
memantapkan (menghilangkan keragu-raguan) kalau dikatakan praktek shalat
dilakukan oleh warga nahdhiyyin itu tidak berdasar pada dalil syar’i.
Buku ini dimulai dari bahasan mengenai keutamaan shalat, apa saja
persiapan sebelum shalat, gambaran bagaimana Rasullullah mengerjakan
shalat, amaliah (wiritan) setelah shalat, keutamaan shalat berjamaah,
hal-hal yang perlu dihindari ketika sedang shalat, dan macam-macam
shalat sunnah. Masing-masing topik bahasan itu disertai dengan bacaan,
dalil Qur’an dan Hadits Nabi serta pendapat ulama-ulama klasik. Selamat
membaca!
Peresensi: Ach. Syaiful A’la (Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurul Huda, Bicabbi Dungkek Sumenep) Sumber: NU Online










0 comments:
Post a Comment