Penulis: H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos, Pengantar: K.H. Abdul Muchith Muzadi, Penerbit: Khalista, Surabaya, Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: xviii + 322 halaman, Peresensi: M. Abdul Hady JM
Pemesanan : 087 833 225 136
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.
Ada banyak faktor yang
melatarbelakangi berdirinya NU. Diantara faktor itu adalah perkembangan
dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala
bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada
ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari
sistem brmadzhab.
Bagi para kiai pesantren,
pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu
keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para
ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam’iyah Nahdlatul Ulama
cukup mendesak untuk segera didirikan.
Sebagai organisasi keagamaan, NU
telah melewati pergulatan sejarah yang cukup panjang. Setidaknya, NU
telah melewati beberapa masa atau era yaitu era pra kemerdekaan, orde lama
(pasca kemerdekaan), orde baru, dan reformasi. Dalam setiap perjalanan
panjang ini, tentu saja NU mengalami perubahan dan perkembangan yang
cukup besar. Buku “Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah” ini
mencoba memberikan potret cukup jelas dan lengkap seputar sepak terjang
NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy’ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.
Pada awal berdirinya, NU
merupakan sebuah “jam’iyyah diniyyah ” murni (independen). Ia bukan
organisasi politik, bahkan tidak berafiliasi sama sekali terhadap partai
politik tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, NU pernah
bergabung dengan partai politik tertentu, bahkan pernah menjadi partai
politik sendiri.
Pada tahun-tahun awal berdirinya,
yaitu tahun 1926- 1942, perjuangan NU dititik-beratkan pada penguatan
doktrin Ahlussunnah waljamah (Aswaja) dalam rangka menghadapi serangan
penganut ajaran Wahabi. Di antara program konkretnya, selain melakukan
penguatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pesantren adalah
menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran
Aswaja.
Pada Muktamar NU ke-19 di
Palembang tahun 1952, NU dideklarasikan sebagai partai politik sendiri,
setelah sebelumnya cukup lama bergabung dengan Masyumi. Pada pemilu
pertama 1955, Partai NU muncul sebagai kekuatan yang cukup besar dengan
menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa-masa ini
yaitu ketika masih menjadi partai politik, banyak tokoh NU yang
menempati posisi strategis dalam lembaga pemerintahan dan lembaga
legislatif, serta banyak juga yang diangkat sebagai Duta Besar RI di
luar Negeri (hal. 18-20).
NU terus menapaki lorong-lorong
terjal sejarah. Pada masa berikutnya yaitu sejak tahun 1973 Partai NU
tidak diakui lagi, dan dipaksa harus melebur ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Masa ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa
peleburan partai ini, tokoh-tokoh NU (sengaja) dipinggirkan dari kancah
perpolitikan nasional dan pemerintahan oleh rezim otoriter Orde baru.
Bahkan banyak tokoh NU yang dijebloskan ke dalam penjara dengan aneka
macam tuduhan.
Pada dasawarsa 1980-an terjadi
perubahan mengejutkan di tubuh NU. Setelah malang melintang dalam dunia
politik praktis selama 32 tahun, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo
pada tahun 1984, NU kembali ke khitthah 1926. NU menyatakan diri keluar
dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya semula sebagai
organisasi keagamaan (jam’iyah diniyah).
Pada masa ini, NU mulai lebih
mengurusi pendidikan dan lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan.
NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah
sakitnya yang telah lama terabaikan. Kegiatan-kegiatan pengajian kembali
digalakkan, bahkan mulai masuk ke unit-unit pemerintahan. Satu persatu
cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali (hal. 21).
Sebagai organisasi sosial
keagamaan, dalam NU terdapat banyak istilah baik yang terkait dengan
kelengkapan organisasi maupun nama kebijakan atau keputusan yang pernah
dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini dijelaskan ada 57 istilah.
Istilah-istilah tersebut disebutkan secara alpabet.
Selain itu, buku ini juga
menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan
amaliah yang tidak terdapat, bahkan tidak dikenal di luar organisasi NU.
Bahkan ada yang dianggap sebagai amaliah bid’ah. Sekadar disebutkan
misalnya, di antaranya, barzanji, tahlil, tawassul, dan ziarah kubur.
Seperti nama-nama istilah dalam NU tersebut, beberapa budaya dan amaliah
warga NU ini juga dipaparkan secara alpabet dari A sampai Z.
Pada bab terakhir, yaitu bab IV
pembaca juga disuguhi kisah singkat para tokoh atau kiai NU. Namun dalam
buku ini hanya 49 tokoh yang disebutkan. Mereka memiliki peranan yang
cukup besar dalam merintis dan mengawal langkah perjalanan panjang NU.
Namun demikian, selain tokoh-tokoh tersebut sejatinya juga masih banyak
NU yang tak kalah pentingnya. Dari kisah singkat para tokoh ini,
setidaknya kita, terutama warga NU dapat mengambil pelajaran penting
(uswah) dari pernik-pernik kehidupan dan pengabdian mereka. Sebab,
kontribusi mereka terhadap bangsa khusunya NU sangat besar.
Menariknya, dalam buku ini juga dilengkapi beberapa gambar peristiwa,
kegiatan NU, dan foto-foto para tokoh NU tersebut. Sehingga, selain
penampilan buku ini semakin menarik, yang terpenting, pembaca bukan
hanya tahu namanya saja melainkan juga dapat mengetahui wajah para tokoh
yang dipaparkan dalam buku ini. Akhirnya selamat membaca. !!!.
*M. Abdul Hady JM, Mahasiswa Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Alumnus PP. Al-Jalaly Ambunten Sumenep Madura.
Sumber: NU Online
Monday, 17 February 2014
Buku Antologi NU; Buku II; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah
08:44
No comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)









0 comments:
Post a Comment