Sudah
jamak diketahui bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada
tanggal 17 bulan Agustus tahun 1945 bertepatan dengan bulan Ramadhan.
Ini misalnya diketahui dari ketika momentum para pemuda menjemput
Soekarno-Hatta menuju Rengasdengklok pada 16 Agutus 1945 adalah waktu
sahur.
Ibu Fatmawati yang masih menyusui Guntur Soekarno Putra mungkin saja memanfa
atkan keringanan sesuai agama untuk tak berpuasa dan diganti dengan membayar fidyah.
Boleh boleh saja kan seorang perempuan yang sedang hamil dan atau menyusui tak berpuasa diganti dengan fidyah (seberapa banyak kita makan dalam satu hari, dikonversi dalam bentuk natura atau uang lantas dikali dengan seberapa hari tak berpuasa karena hal itu).
Mungkin saja ini terjadi, ini hanyalah interpretasi yang dalam historiografi merupakah salah satu langkah dalam penulisan kisah kisah di masa lampau.
Atau, ketika penyusunan naskah proklamasi keesokan harinya di rumah Laksamana Tadashi Maeda, seorang perwira Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Maeda, pada dini hari sahur tersebut memerintahkan pembantunya untuk memasak nasi goreng guna makan sahur golongan tua dan muda yang jumlahnya cukup banyak.
Dalam sebuah riwayat lain, menjelang selesainya naskah proklamasi itu Hatta sahur dengan sarden dan kemungkinan berbagi teman nasi dengan Soekarno. Maeda tentu saja tak berpuasa karena tak tercakup pada orang orang yang diseru dalam surat al Baqarah ayat 183.
Siang harinya, di jam 10, proklamasi itu berkumandang, disaksikan para hadirin yang tak seberapa banyak namun bergaung lebih luas berkat kreativitas dan keberanian dua juru potret IPPHOS, Alex dan Frans Mendoer serta Bachtar Lubis dan Jusup Ronodipuro yang menerobos ketatnya kempetai di studio Radio Domei. Bachtar dan Jusup hampir saja dihabisi oleh kempetai kalau saja tak diselamatkan perwira senior Jepang.
Di sisi lain, sayangnya, masih ada saja sebagian orang yang menganggap bahwa 17 Agustus 1945 adalah 17 Ramadhan. Pandangan ini tentu saja keliru karena tak berkesuaian dengan kalender hijriah pada tahun tersebut.
Mungkin penyamaan penanggalan ini disebabkan tak mau repot repot melacak tanggal kalender yang telah berlalu lebih dari 65 tahun yang silam.
Kalendernya yang sudah jarang, mungkin hanya tinggal dimiliki oleh para kolektor pehobi benda benda yang kuno. Jadilah, untuk menyederhanakan dan menggampangkan maka diambillah patokan bahwa 17 Agustus 45 adalah 17 Ramadhan.
Padahal, pelacakan ini tak melulu mengandalkan kalender. Cobalah buka buka kembali surat kabar yang beredar pada masa masa itu seperi Asia Raja yang terbit di Jakarta, Tjahaja di Bandung, dan Soeara Asia di Surabaya.
Itulah koran koran yang diizinkan terbit oleh pemerintahan militer Jepang. Setelah merdeka, koran koran tersebut bermetamorfosa menjadi koran milik republiken seperti misalnya Asia Raja yang menjadi Merdeka di bawah pemimpin redaksi B. M. Diah dan redaktur Rosihan Anwar.
Biasanya, di pojok kiri atau kanan atas tercantum tanggal penerbitan. Selain penanggalan masehi juga dicantumkan penanggalan hijriah.
Nah, ketika saya melacak koran yang terbit pada tanggal 17 Agustus 1945 terpampang dengan jelas bahwa tanggal itu bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, masih dalam periode sepuluh hari pertama ramadhan yang berkategori rahmat. Jelaslah bahwa 17 Agustus 1945 tak bertepatan dengan 17 Ramadhan. Dan tentunya masih agak lama dengan hari raya idul fitri atau lebaran yang diperkirakan jatuh pada bulan September 1945.
Pada bulan September inilah kali pertama lebaran yang dilaksanakan dalam suasana euphoria kemerdekaan. Lebaran yang tak lagi dicengkeram oleh penjajahan Jepang yang secara de jure tinggal angkat kaki dari bumi nusantara.
Secara de facto mungkin saja masih ada nuansa ketakutan yang dialami oleh rakyat indonesia karena tentara Jepang yang terkenal kejam dan rakus perempuan-ingat jugunianfu-masih berkeliaran.
Namun, proklamasi telah berkumandang dan UUD 1945 telah disahkan yang di salah satu alinea pembukanya berbunyi. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…….”.
Sebelum Ramadhan 1364 hampir selesai, segenap pengumuman dan maklumat mengenai hari raya Idul Fitri pertama setelah proklamasi segera disiarkan melalui surat kabar.
Salah satu diantaranya adalah seruan Komite Nasional Indonesia Daerah Djakarta Raja-kemungkinan besar Mr. Moehamad Roem yang memimpin KNID Djakarta-yang dimuat di Asia Raja tertanggal 07 September 1945 di halaman pertama, “Pimpinan Komite Nasional Daerah Djakarta Raja mengandjoerkan kepada segenap anggota Poesat, tjabang dan Ranting dari K.N.I jang ber-Agama Islam, supaja besok hari Sabtoe tanggal 8 September berdoejoen-doejoen membandjiri lapangan Ikada Gambir oentoek sembahjang Idoel Fitri. Adjaklah keloearga dan kawan kawan oentoek bersama sama sembahjang ‘Ied. Sembahjang dimoelai djam 8.30 pagi”.
Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) yang kini menjadi lapangan Monas mungkin menjadi pusat shalat idul fitri waktu itu. Saya belum menemukan data siapa yang menjadi imam dan khotib pada waktu itu.
Di Bandung, panitia Idul Fitri dari Masyumi-dimuat Tjahaja, 4 September 1945-mengumumkan bahwa, “Idoel Fitri dalam Bandoeng Kota pada tahoen ini lebih bersemaraknja dari pada tahoen yang soedah soedah.
Sebagai mana soedah dioemoemkan, Hari Lebaran itoe akan djatuh pada tanggal 8 jad (yang akan datang, pen) ketjuali djika pada malam Djoematnja ada roe’djat maka Hari Raja itoe akan djatoeh pada hari Djoemat tanggal 7. Sembahjang akan dilangsoengkan poekoel 9.30 dialoen aloen Bandoeng. Oentoek kaoem Iboe di halaman Kaboepaten. Jang akan mendjadi chatib ialah K. Abdoerachman dan wakilnya K.H.A. Salam.
Di Surabaya, seperti diumumkan di Soeara Asia 7 September 1945 bahwa, “Syuumukatyoo Surabaya hari ini menerima kawat dari Djakarta jang menyatakan bahwa hari raja Fitrah (Lebaran) dengan istikmal djatoeh pada hari S a b t o e tg. 8/9-2605.
Secara umum, lebaran pasca proklamasi jatuh pada tanggal 8 September 1945 sesuai dengan keputusan Gunseikanbu bagian Syuumubu (semacam kantor urusan agama di jaman Jepang) dengan menggenapkan (istikmal) bulan Ramadhan menjadi 30 hari karena hilal tak bisa dilihat mungkin karena hujan atau berawan. Hal ini tercermin dari pengumuman di Soera Asia yang merujuk kawat dari Jakarta.
Di Bandung setali tiga uang dengan Surabaya kecuali jika hilal bisa dilihat maka jatuh pada hari Jum’at tanggal 7 September. Agaknya, Gunseikanbu memakai metode rukyatul hilal dalam menetapkan 1 Syawal 1364 H. Karena hilal gagal dilihat, bulan Ramadhan diistikmalkan.
Berbeda dengan Gunseikanbu yang memakai rukyatul hilal, Muhammadiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh Ki Bagus Hadikusumo memakai metode hisab haqiqi sehingga 1 Syawal berbeda dengan mereka yang rukyat.
Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Syawal 1364 H jatuh pada tanggal 7 September 1945 hari jum’at. Soeara Asia tertanggal 7 September 1945 di halaman dua menulis, “Pagi hari ini tg. 7/9 atas oesaha Moehammadijah tjabang Surabaya dengan mengikuti hisab haqiqi yang dikeloearkan oleh P.B Moehammadijah Jogjakarta, di tanah lapang Persibaja Pasarturi telah diadakan sembahjang Iedul Fitri.
Sebagaimana lazimnya nampak sedjoemlah kaoem poetri toeroet serta bersembahjang demikian djoega beberapa orang jang hanja ingin menjaksikan, berdiri berderet deret. Jang menjadi chatib dan imam jaitoe toean Abdullah Wasi’an. Sembahjang dimoelai djam 7.50”.
Bahkan sebelum berdirinya MUI dan Kementerian Agama pun, di hari raya idul fitri pertama setelah proklamasi perbedaan penetapan 1 Syawal sudah terjadi. Inilah sebagian serba serbi lebaran pasca proklamasi.
Boleh boleh saja kan seorang perempuan yang sedang hamil dan atau menyusui tak berpuasa diganti dengan fidyah (seberapa banyak kita makan dalam satu hari, dikonversi dalam bentuk natura atau uang lantas dikali dengan seberapa hari tak berpuasa karena hal itu).
Mungkin saja ini terjadi, ini hanyalah interpretasi yang dalam historiografi merupakah salah satu langkah dalam penulisan kisah kisah di masa lampau.
Atau, ketika penyusunan naskah proklamasi keesokan harinya di rumah Laksamana Tadashi Maeda, seorang perwira Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Maeda, pada dini hari sahur tersebut memerintahkan pembantunya untuk memasak nasi goreng guna makan sahur golongan tua dan muda yang jumlahnya cukup banyak.
Dalam sebuah riwayat lain, menjelang selesainya naskah proklamasi itu Hatta sahur dengan sarden dan kemungkinan berbagi teman nasi dengan Soekarno. Maeda tentu saja tak berpuasa karena tak tercakup pada orang orang yang diseru dalam surat al Baqarah ayat 183.
Siang harinya, di jam 10, proklamasi itu berkumandang, disaksikan para hadirin yang tak seberapa banyak namun bergaung lebih luas berkat kreativitas dan keberanian dua juru potret IPPHOS, Alex dan Frans Mendoer serta Bachtar Lubis dan Jusup Ronodipuro yang menerobos ketatnya kempetai di studio Radio Domei. Bachtar dan Jusup hampir saja dihabisi oleh kempetai kalau saja tak diselamatkan perwira senior Jepang.
Di sisi lain, sayangnya, masih ada saja sebagian orang yang menganggap bahwa 17 Agustus 1945 adalah 17 Ramadhan. Pandangan ini tentu saja keliru karena tak berkesuaian dengan kalender hijriah pada tahun tersebut.
Mungkin penyamaan penanggalan ini disebabkan tak mau repot repot melacak tanggal kalender yang telah berlalu lebih dari 65 tahun yang silam.
Kalendernya yang sudah jarang, mungkin hanya tinggal dimiliki oleh para kolektor pehobi benda benda yang kuno. Jadilah, untuk menyederhanakan dan menggampangkan maka diambillah patokan bahwa 17 Agustus 45 adalah 17 Ramadhan.
Padahal, pelacakan ini tak melulu mengandalkan kalender. Cobalah buka buka kembali surat kabar yang beredar pada masa masa itu seperi Asia Raja yang terbit di Jakarta, Tjahaja di Bandung, dan Soeara Asia di Surabaya.
Itulah koran koran yang diizinkan terbit oleh pemerintahan militer Jepang. Setelah merdeka, koran koran tersebut bermetamorfosa menjadi koran milik republiken seperti misalnya Asia Raja yang menjadi Merdeka di bawah pemimpin redaksi B. M. Diah dan redaktur Rosihan Anwar.
Biasanya, di pojok kiri atau kanan atas tercantum tanggal penerbitan. Selain penanggalan masehi juga dicantumkan penanggalan hijriah.
Nah, ketika saya melacak koran yang terbit pada tanggal 17 Agustus 1945 terpampang dengan jelas bahwa tanggal itu bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, masih dalam periode sepuluh hari pertama ramadhan yang berkategori rahmat. Jelaslah bahwa 17 Agustus 1945 tak bertepatan dengan 17 Ramadhan. Dan tentunya masih agak lama dengan hari raya idul fitri atau lebaran yang diperkirakan jatuh pada bulan September 1945.
Pada bulan September inilah kali pertama lebaran yang dilaksanakan dalam suasana euphoria kemerdekaan. Lebaran yang tak lagi dicengkeram oleh penjajahan Jepang yang secara de jure tinggal angkat kaki dari bumi nusantara.
Secara de facto mungkin saja masih ada nuansa ketakutan yang dialami oleh rakyat indonesia karena tentara Jepang yang terkenal kejam dan rakus perempuan-ingat jugunianfu-masih berkeliaran.
Namun, proklamasi telah berkumandang dan UUD 1945 telah disahkan yang di salah satu alinea pembukanya berbunyi. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…….”.
Sebelum Ramadhan 1364 hampir selesai, segenap pengumuman dan maklumat mengenai hari raya Idul Fitri pertama setelah proklamasi segera disiarkan melalui surat kabar.
Salah satu diantaranya adalah seruan Komite Nasional Indonesia Daerah Djakarta Raja-kemungkinan besar Mr. Moehamad Roem yang memimpin KNID Djakarta-yang dimuat di Asia Raja tertanggal 07 September 1945 di halaman pertama, “Pimpinan Komite Nasional Daerah Djakarta Raja mengandjoerkan kepada segenap anggota Poesat, tjabang dan Ranting dari K.N.I jang ber-Agama Islam, supaja besok hari Sabtoe tanggal 8 September berdoejoen-doejoen membandjiri lapangan Ikada Gambir oentoek sembahjang Idoel Fitri. Adjaklah keloearga dan kawan kawan oentoek bersama sama sembahjang ‘Ied. Sembahjang dimoelai djam 8.30 pagi”.
Lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta) yang kini menjadi lapangan Monas mungkin menjadi pusat shalat idul fitri waktu itu. Saya belum menemukan data siapa yang menjadi imam dan khotib pada waktu itu.
Di Bandung, panitia Idul Fitri dari Masyumi-dimuat Tjahaja, 4 September 1945-mengumumkan bahwa, “Idoel Fitri dalam Bandoeng Kota pada tahoen ini lebih bersemaraknja dari pada tahoen yang soedah soedah.
Sebagai mana soedah dioemoemkan, Hari Lebaran itoe akan djatuh pada tanggal 8 jad (yang akan datang, pen) ketjuali djika pada malam Djoematnja ada roe’djat maka Hari Raja itoe akan djatoeh pada hari Djoemat tanggal 7. Sembahjang akan dilangsoengkan poekoel 9.30 dialoen aloen Bandoeng. Oentoek kaoem Iboe di halaman Kaboepaten. Jang akan mendjadi chatib ialah K. Abdoerachman dan wakilnya K.H.A. Salam.
Di Surabaya, seperti diumumkan di Soeara Asia 7 September 1945 bahwa, “Syuumukatyoo Surabaya hari ini menerima kawat dari Djakarta jang menyatakan bahwa hari raja Fitrah (Lebaran) dengan istikmal djatoeh pada hari S a b t o e tg. 8/9-2605.
Secara umum, lebaran pasca proklamasi jatuh pada tanggal 8 September 1945 sesuai dengan keputusan Gunseikanbu bagian Syuumubu (semacam kantor urusan agama di jaman Jepang) dengan menggenapkan (istikmal) bulan Ramadhan menjadi 30 hari karena hilal tak bisa dilihat mungkin karena hujan atau berawan. Hal ini tercermin dari pengumuman di Soera Asia yang merujuk kawat dari Jakarta.
Di Bandung setali tiga uang dengan Surabaya kecuali jika hilal bisa dilihat maka jatuh pada hari Jum’at tanggal 7 September. Agaknya, Gunseikanbu memakai metode rukyatul hilal dalam menetapkan 1 Syawal 1364 H. Karena hilal gagal dilihat, bulan Ramadhan diistikmalkan.
Berbeda dengan Gunseikanbu yang memakai rukyatul hilal, Muhammadiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh Ki Bagus Hadikusumo memakai metode hisab haqiqi sehingga 1 Syawal berbeda dengan mereka yang rukyat.
Muhammadiyah menetapkan bahwa 1 Syawal 1364 H jatuh pada tanggal 7 September 1945 hari jum’at. Soeara Asia tertanggal 7 September 1945 di halaman dua menulis, “Pagi hari ini tg. 7/9 atas oesaha Moehammadijah tjabang Surabaya dengan mengikuti hisab haqiqi yang dikeloearkan oleh P.B Moehammadijah Jogjakarta, di tanah lapang Persibaja Pasarturi telah diadakan sembahjang Iedul Fitri.
Sebagaimana lazimnya nampak sedjoemlah kaoem poetri toeroet serta bersembahjang demikian djoega beberapa orang jang hanja ingin menjaksikan, berdiri berderet deret. Jang menjadi chatib dan imam jaitoe toean Abdullah Wasi’an. Sembahjang dimoelai djam 7.50”.
Bahkan sebelum berdirinya MUI dan Kementerian Agama pun, di hari raya idul fitri pertama setelah proklamasi perbedaan penetapan 1 Syawal sudah terjadi. Inilah sebagian serba serbi lebaran pasca proklamasi.









0 comments:
Post a Comment