stepping stone batu pijakan masjid jami, desa tegalsari, jetis, ponorogo. ada sejak abad 18. masjid ini dibangun oleh kyai ageng mohammad besari yang merupakan guru ngaji ketika RNg. ronggowarsito menjadi santri di pesanten ini.
(di-edit 7
juni 2010 atas pertanyaan pak kyai mamik roesdiatmo via inbox tentang "batu bancik" ini yg pertanyaanya kurang lebih ttg bancik kenapa posisinya yang tidak indah dipandang mata dan terkesan asal letak dan tidak cocok dgn materi masjidnya?)
Ini bukan tidak mempunyai maksud tertentu tentang arti letak dan posisinya atas batu pijakan istimewa ini. Batu pijakan di depan masjid ini bukan sebuah 'batu kosong' seperti pada umumnya batu-batu dari alam pada umumnya tetapi 'batu' istimewa ini – biasanya - diambil dari sebuah tempat angker, punden, atau bagian dari sebuah artifak atau situs atau candi atau bahkan sebuah arca utuh yg ditanam di depan masjid sebagai perlambang 'agomo' telah mengalahkan 'tradisi sesat' pada jaman atau saat itu pada medio tahun 70-80an. Dalam bahasa setempat batu itu disebut “ watu bancik” atau tempat “ancik-ancik” atau tempat menongkrong atau batu pijakan.
“Sesembahmu aku jadikan cuma sebagai pijakan bagi setiap orang yg akan masuk masjid”.
Mungkin begitu kira-kira pesannya. Karena pada saat itu juga hingga kini masih banyaknya ‘laku’ warga desa setempat mendatangi punden atau artifak kuno atau tempat angker lainnya dengan maksud yang tidak sinkron dengan ajaran suci. Maka para agamawan memilih jalur terjal ini meski jalur itu merusak arti sebuah potret kehidupan masa lalu atas sebuah peradaban Jawa (khususnya).
Bertranspormasinya sebuah benda dari “barang wingit” menjadi “barang sepolo” atau barang kecil tak bermakna ini berlangsung di desa-desa di seluruh wilayah Wengker (nama kuno untuk kota Ponorogo atau suatu wilayah yang terletak di antara dua gunung yaitu pada sisi barat gunung Wilis dan sisi timur gunung Lawu. Wengker adalah tempat yang angker dan wingit, Wengker dari kata Wono Angker atau hutan angker.
Sepertihalnya nasib lambang Mojopahit suryo sumunar (lambang burung Garudanya kraton Mojopahit) yang di boyong dari kraton Majapahit dan sekarang ditempel di dinding masjid Demak. Artinya bahwa Demak telah mengalahkan Majapahit.
Transformasi tidak berhenti pada batu candi, arca atau lainnya tetapi juga termasuk pohon-pohon besar khususnya ditempat mata air yang , lagi-lagi, di sebut tempat angker yang ditakuti warga desa di mana pohon-pohon besar itu ditebang dan kayunya dipakai untuk bahan bangunan sebuah masjid. Sampai di sini tidak masalah seandainya saja yang berani menebang itu ya berani untuk menanam. Tetapi apa ya mungkin, kalau aktifitas menebang itu adalah lambang kemenangan apakah mereka akan memberikan kembali kemenangannya itu pada pihak yang dikalahkan. Tidak mungkin bukan? Jadi mereka tidak akan menanam sebuah pohon angker untuk warga desa bukan lagi? Maka akibatnya, sumber air itu menjadi mati. Hilanglah sudah satu anugerah alam dari sang Pencipta.
Inilah tantangan bagi kita umat Islam agar behati-hati dalam setiap membuat setiap langkah dalam upaya menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Jangan sampai dalam menegakkan hukum itu justru dengan cara melanggar hukum.
Padahal menjadi khalifah di bumi itu tak terlepas dari baik buruk. Terserah pada pribadi seseorang mau menjadi khalifah yang baik atau khalifah yang buruk yang tidak atau belum paham atau sadar akan arti sejarah sebuah peradaban dan lingkungan.
Sebagai wong cilik dan punya ilmu tapi itu cuma “ngelmu-nya wong ngarit” saya cuma bisa menyaksikan dan mendokumentasi sambil belajar sejarah agar saya pribadi bisa mengambil hikmah.
Sambil berharap agar ke depan para pejuang amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak datang ke suatu kawasan hanya menawarkan dagangan yang berupa “surga dan neraka” tetapi juga ilmu alam, ilmu sejarah dan peradaban ,informasi tehnologi serta ilmu pertanian terapan yang berguna dalam mengurangi ke-fakiran yang selalu identik dekat dengan ke-kafiran.
Di mata pandangan batin saya, khalifah yang baik itu ya selain membawa ajaran suci tetapi ya mau menaburkan benih-benih tanaman di atas bumi dengan tidak asal potong ‘peh’ mereka berani melakukan. Memberi contoh itu yang saat ini bisa menyejukan, masarakat butuh seorang pembimbing lahir batin.
Di desa-desa sabuk gunung khususnya di daerah Plaosan, Magetan Jatim sisi timur gunung Lawu saat itu banyak ditemui situs, artifak, candi atau arca purbakala yang ‘dihancurkan’ dengan mengatas-namakan demi satu tujuan yakni menerangi daerah gelap.
Sisa-sia arca purbakala yang banyak ditemui di lereng-lereng gunung sekarang sudah lenyap yang sebagian besar bernasib menjadi batu bancik dan hilang begitu saja karena orang tidak tidak mau atau peduli kalau hanya menjaga atau melestarikan sebuah bancik atau membela pohon besar angker yang meupakan sebuah pekerjaan tidak bergengsi.
Situs, artifak dan arca-arca itu hanya bisa dijumpai lewat cerita-cerita ‘orang kuno’ yang saat ini jumlahnya otomatis sudah tidak banyak lagi.
Sebuah harga mahal atas perjalanan sebuah sejarah.http://mp3pituturluhur.blogspot.com/
Ini bukan tidak mempunyai maksud tertentu tentang arti letak dan posisinya atas batu pijakan istimewa ini. Batu pijakan di depan masjid ini bukan sebuah 'batu kosong' seperti pada umumnya batu-batu dari alam pada umumnya tetapi 'batu' istimewa ini – biasanya - diambil dari sebuah tempat angker, punden, atau bagian dari sebuah artifak atau situs atau candi atau bahkan sebuah arca utuh yg ditanam di depan masjid sebagai perlambang 'agomo' telah mengalahkan 'tradisi sesat' pada jaman atau saat itu pada medio tahun 70-80an. Dalam bahasa setempat batu itu disebut “ watu bancik” atau tempat “ancik-ancik” atau tempat menongkrong atau batu pijakan.
“Sesembahmu aku jadikan cuma sebagai pijakan bagi setiap orang yg akan masuk masjid”.
Mungkin begitu kira-kira pesannya. Karena pada saat itu juga hingga kini masih banyaknya ‘laku’ warga desa setempat mendatangi punden atau artifak kuno atau tempat angker lainnya dengan maksud yang tidak sinkron dengan ajaran suci. Maka para agamawan memilih jalur terjal ini meski jalur itu merusak arti sebuah potret kehidupan masa lalu atas sebuah peradaban Jawa (khususnya).
Bertranspormasinya sebuah benda dari “barang wingit” menjadi “barang sepolo” atau barang kecil tak bermakna ini berlangsung di desa-desa di seluruh wilayah Wengker (nama kuno untuk kota Ponorogo atau suatu wilayah yang terletak di antara dua gunung yaitu pada sisi barat gunung Wilis dan sisi timur gunung Lawu. Wengker adalah tempat yang angker dan wingit, Wengker dari kata Wono Angker atau hutan angker.
Sepertihalnya nasib lambang Mojopahit suryo sumunar (lambang burung Garudanya kraton Mojopahit) yang di boyong dari kraton Majapahit dan sekarang ditempel di dinding masjid Demak. Artinya bahwa Demak telah mengalahkan Majapahit.
Transformasi tidak berhenti pada batu candi, arca atau lainnya tetapi juga termasuk pohon-pohon besar khususnya ditempat mata air yang , lagi-lagi, di sebut tempat angker yang ditakuti warga desa di mana pohon-pohon besar itu ditebang dan kayunya dipakai untuk bahan bangunan sebuah masjid. Sampai di sini tidak masalah seandainya saja yang berani menebang itu ya berani untuk menanam. Tetapi apa ya mungkin, kalau aktifitas menebang itu adalah lambang kemenangan apakah mereka akan memberikan kembali kemenangannya itu pada pihak yang dikalahkan. Tidak mungkin bukan? Jadi mereka tidak akan menanam sebuah pohon angker untuk warga desa bukan lagi? Maka akibatnya, sumber air itu menjadi mati. Hilanglah sudah satu anugerah alam dari sang Pencipta.
Inilah tantangan bagi kita umat Islam agar behati-hati dalam setiap membuat setiap langkah dalam upaya menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Jangan sampai dalam menegakkan hukum itu justru dengan cara melanggar hukum.
Padahal menjadi khalifah di bumi itu tak terlepas dari baik buruk. Terserah pada pribadi seseorang mau menjadi khalifah yang baik atau khalifah yang buruk yang tidak atau belum paham atau sadar akan arti sejarah sebuah peradaban dan lingkungan.
Sebagai wong cilik dan punya ilmu tapi itu cuma “ngelmu-nya wong ngarit” saya cuma bisa menyaksikan dan mendokumentasi sambil belajar sejarah agar saya pribadi bisa mengambil hikmah.
Sambil berharap agar ke depan para pejuang amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak datang ke suatu kawasan hanya menawarkan dagangan yang berupa “surga dan neraka” tetapi juga ilmu alam, ilmu sejarah dan peradaban ,informasi tehnologi serta ilmu pertanian terapan yang berguna dalam mengurangi ke-fakiran yang selalu identik dekat dengan ke-kafiran.
Di mata pandangan batin saya, khalifah yang baik itu ya selain membawa ajaran suci tetapi ya mau menaburkan benih-benih tanaman di atas bumi dengan tidak asal potong ‘peh’ mereka berani melakukan. Memberi contoh itu yang saat ini bisa menyejukan, masarakat butuh seorang pembimbing lahir batin.
Di desa-desa sabuk gunung khususnya di daerah Plaosan, Magetan Jatim sisi timur gunung Lawu saat itu banyak ditemui situs, artifak, candi atau arca purbakala yang ‘dihancurkan’ dengan mengatas-namakan demi satu tujuan yakni menerangi daerah gelap.
Sisa-sia arca purbakala yang banyak ditemui di lereng-lereng gunung sekarang sudah lenyap yang sebagian besar bernasib menjadi batu bancik dan hilang begitu saja karena orang tidak tidak mau atau peduli kalau hanya menjaga atau melestarikan sebuah bancik atau membela pohon besar angker yang meupakan sebuah pekerjaan tidak bergengsi.
Situs, artifak dan arca-arca itu hanya bisa dijumpai lewat cerita-cerita ‘orang kuno’ yang saat ini jumlahnya otomatis sudah tidak banyak lagi.
Sebuah harga mahal atas perjalanan sebuah sejarah.http://mp3pituturluhur.blogspot.com/









0 comments:
Post a Comment